12

245 19 0
                                    

ここる

Ilna terbelak, segala ketidakmungkinan tersebut memang benar adanya. Kedua telapak tangannya mulai menyentuh berbagai lapisan kulit di seluruh tubuhnya. Ilna sama sekali tidak merasa ada rasa ngilu yang tercipta dari sentuhan pertemuan kulitnya.

Mustahil, gigitan Helen tempo hari itu berupa koyakan. Seperti hewan buas, sisa tancapan gigi taring yang bertumbuh tidak normal pada rahang Helen masih terbayang oleh Ilna hingga saat ini. Ilna sangat yakin bahwa dagingnya juga ikut terkoyak.

Ilna buru-buru mencari toilet umum, masuk ke dalam biliknya guna menanggalkan pakaian. Bersih. Kulitnya bersih tak bercacat sedikitpun. Mustahil tidak meninggalkan bekas, mustahil kulitnya kembali seperti semula. Seingat Ilna, ketika dua biadab itu melucuti pakaiannya, Ilna masih seperti bangkai hidup. Kulitnya masih bersimbah darah, dengan kondisi dagingnya terlihat di permukaan.

Lalu, bagaimana semua luka tersebut hilang tak berbekas?

Seluruh pertanyaan-pertanyaan itu masih terngiang dalam benak Ilna, berusaha mencari tahu bagaimana awal mula kulitnya bisa kembali seperti semula. Hidup Ilna memang menjadi abnormal usai kakinya melangkah keluar dari rumah Seungcheol, tapi jika sampai seperti ini Ilna yakin seratus persen, hidupnya bukan main-main.

Ilna masih menyelami pikirannya, harus melangkah seperti apa kedepannya tatkala suara gedoran pintu memaksa Ilna harus segera membuka bilik kamar mandinya.

Suara gedoran pintu makin membuat Ilna tak nyaman. Seingat Ilna ketika ia masuk ke toilet ini, bilik yang lain masih kosong. "Bisa gunakan yang disebelah saja? Urusanku belum selesai."

Hening, tiba-tiba tak ada suara. Aneh, tadi orang di luar bak orang kesetanan berusaha mendobrak pintu bilik ini. Ilna mencoba berpikir jernih, kemungkinan bilik sebelah sudah kosong, sehingga orang tersebut urung memaksa membukakan pintu.

Ilna meraih kenop pintu,ㅡ"JANGAN BERGERAK, ANDA SUDAH TERKEPUNG."

Seketika kedua tangan Ilna terangkat, merasa terintimidasi dengan hadirnya dua sosok polisi tengah menodongkan dua pistol ke arah wajahnya. Takut, itu yang terpikirkan oleh alam bawah sadar Ilna. Terbesit banyak keraguan, siapakah polisi dihadapannya saat ini.

Sekelebat bayangan dua bajingan yang berpura-pura sebagai polisi seketika mencekik tenggorokan Ilna. Nafasnya terputus-putus, tangannya berusaha menekan jantungnya yang berdegup terlalu cepat. Gawat! Ini terlalu cepat!

Seperti ditimpa oleh berlapis ton baja, begitupula yang dirasakan Ilna saat ini. Kepalanya berputar, serasa cermin dan wastafel dihadapannya juga ikut berputar, sulit untuk menemukan titik fokus. Sisa-sisa rasa susu putih yang ditenggaknya di rumah Joshua seolah naik ke kerongkongannya bersama asam lambung yang membuat perut Ilna terasa tidak nyaman sama sekali. Ia yakin jika ia tidak melihat sosok aneh yang berpakaian neon membuka bilik sebelah memberikan tanda hitungan mundur terpantul dari cermin, Ilna pasti akan muntah di wajah para polisi tersebut.

"LARI, CHOI ILNA!" Laki-laki itu menggenggam pergelangan tangan Ilna begitu kuat. Sedang tangannya yang lain menyemprotkan sebotol tanggung air.

Di tengah ketegangan dan rasa mual yang kian membuncah, Ilna yakin mendengar suara desisan yang biasanya tercipta dari teflon yang super panas dengan air dingin. Perasaannya memaksa Ilna untuk menoleh, menemukan kedua polisi tersebut tengah merintih, menahan sakit. Wajahnya melepuh berasap, mencair bak es krim yang melumer di bawah teriknya matahari musim panas.







Pergelangan tangan Ilna memerah, bekas genggaman sosok yang juga tengah mengatur nafas dengannya saat ini. Sedikit ngilu, tapi itu lebih baik dibandingkan ia harus mengeluarkan seluruh isi perutnya. Karena Ilna tidak tahu kapan ia bisa makan lagi.

Laki-laki baju berneon itu menoleh ke arah Ilna, memperhatikan dari raut wajahnya. Bola matanya kian menusuk, ada seorang lagi yang mengetahui eksistensi dirinya hidup. "Kau mengenalku?"

Laki-laki itu mendungus, sunggingan senyum tercipta kecil di sudut bibirnya. "Tentu saja, tidak mungkin aku harus melewatkan keberadaanmu."

Ilna bergidik, sedetik usai ucapan laki-laki itu membuat seluruh rambut di tubuhnya ikut meremang. Apakah Ilna harus menghadapi hal mengerikan sekali lagi?

delicate: scoupsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang