きせき
Mengenalmu, adalah dosa terbesarku
Juga, kebahagiaankuKita terikat, menjadi yang tidak semestinya.
。
Ciuman Seungcheol laksana dementor, jika harus Ilna deskripsikan. Manis di awal, memabukkan, tapi sarat kepedihan di dalamnya. Ada banyak pesan terista yang tersirat ditiap kecupannya.
Ilna menyentuh, berusaha menggapai wajah Seungcheol ketika keduanya saling menatap ke dalam jurang penuh luka, menyeka aliran tangis Seungcheol yang berasal dari mata kirinya.
Seungcheolnya tidak pernah terlihat seperti ini. Ujung bibir yang usai mengecupnya tadi masih mengalir darah segar, memar samarnya menunjukkan bahwa Seungcheol yang sudah menjadi penyelamat hidupnya. Menjadi sosok yang tidak akan pernah Ilna lupakan, sekali lagi.
Sorot pandangnya menunduk, Seungcheol berusaha menyembunyikan segala rasa sakit yang berpendar melalui kedua matanya. Sudah cukup Ilna melihatnya begitu putus asa, biarkan sisa duka itu Seungcheol yang mengemban.
Isak Seungcheol kian menjadi, bahunya naik-turun begitu cepat. Segala luka yang ia coba tahan 19 tahun ini, biar ia tahan sekali lagi.
Mata Ilna membesar, merasakan bagaimana Seungcheol dengan cepat menyekap hidung dan mulutnya. Ilna berusaha menahan nafasnya, tidak ingin menghirup cairan yang sudah membasahi sarung tangan Seungcheol. Setelah berbagai hal yang terjadi, mengapa Seungcheol harus membuatnya tak sadarkan diri?
"Hirup, Ilna. Kumohon." nada suara Seungcheol begitu menderita dan tergesa. Ada rasa keterpaksaan dibalik permintaannya.
Dunia Ilna berputar, pandangannya memudar, penglihatannya menghitam. Satu hal yang dapat Ilna yakini sebelum ia runtuh seutuhnya, ada ucapan maaf yang begitu pilu sempat tersampaikan dari lisan Seungcheol.
Kedua mata Ilna menangkap seberkas cahaya memaksa masuk, menyadarkan dirinya dari tidur panjang. Rasa pening menggerogoti dengan paksa, membuat Ilna harus menekan pelipisnya cukup kuat.
Ilna menatap sekelilingnya, netranya menelisik dimanakah ia kali ini. Sebuah kamar dengan tanpa perabotan yang mumpuni. Hanya sebuah kasur tempatnya berbaring dengan sebuah lukisan teratai terpatri di dinding polos berwarna putih.
Tunggu? Lukisan teratai?
Dimana terakhir kali Ilna melihat lukisan ini?Ilna menggerakkan kakinya, menemukan sebuah nampan yang berisi segelas susu putih dengan sandwich isi selai coklat tak jauh dari jangkauannya. Buru-buru Ilna melahapnya, karena ia tak tahu kapan ia bisa makan dengan baik dan teratur sepeninggal dari rumah Jeonghan tempo hari.
Kamar ini hangat, kemudian baru Ilna sadari usai menenggak susu terakhirnya. Badannya sudah tertutupi pakaian panjang selutut. Kalau diingat, ini pakaiannya yang tertinggal di rumah Sua! Ilna berjengit, matanya menjelajah, baru menyadari bahwa kopernya yang tertinggal di rumah Sua berada di pojok ruangan.
Ilna berkeliling, memikirkan segala kemungkinan yang mungkin ada dan terjadi di kamar ini. Menelisik tiap sudutnya yang dapat memberikan kemungkinan dirinya dalam bahaya. Nihil.
Jalan keluar satu-satunya hanya melalui pintu, jendela tempat masuknya sinar mentari itu tak memiliki engsel.
Ilna ragu, haruskah ia meraih kenop pintu tersebut. Teringat bagaimana ia membuka pintu kamarnya tatkala di rumah Jeonghan, sedikit banyak membuatnya trauma, sangat trauma. Tapi, Ilna tidak bisa terus-menerus mengurung diri di kamar ini. Ia harus bergerak.
Diraihnya tuas pintu, terbuka. Menunjukkan sebuah ruang keluarga. Benar-benar, sebuah ruang keluarga. Dengan sofa panjang menghadap televisi, di mejanya ada keripik kentang. Sedang, di ujung ruangan ada sebuah piano besar tua yang menutup tutsnya dengan kain rajutan berwarna krem. Pada bagian atasnya berjajar pigura foto.
Foto yang paling tengah menampilkan seorang laki-laki tersenyum, menunjukkan mata sabitnya sambil merengkuh seekor anjing. Atensi Ilna tiba-tiba tertarik pada barisan foto paling ujung. Foto yang terbingkai pada pigura berwarna putih gading dengan ukiran bunga rumit, terlihat tiga orang tengah saling merangkul tersenyum satu sama lain. Itu kakaknya, Seungcheol, bersama Jeonghan, laluㅡ
"ㅡitu aku, yang paling ujung." suara asing membuat Ilna berbalik. Sisi defensifnya kian menguat seiring berjalannya kejadian yang telah menimpanya.
Laki-laki itu tersenyum, laki-laki yang berfoto dengan anjingnya kini berdiri nyata dihadapannya. Kedua tangannya membawa piring berisi pasta yang masih mengepul panas.
"Duduk saja, aku sendirian di rumah ini. Tidak seperti Jeonghan yang harus menjaga Helen. Aku juga bukan bajingan seperti Seungcheol yang membiarkan adiknya telanjang sepanjang perjalanan kemari."
Ilna mengernyit, menemukan seorang lagi yang memiliki keterkaitan dengan kakaknya. Entahlah, Ilna sebenarnya terlalu lelah jika dipaksa berpikir, bagaimana dirinya bisa berujung di rumah ini, setelah kejadian panjang semalam.
"Aku Joshua Hong. Panggil saja Joshua. Aku teman kakakmu Seungcheol." Laki-laki itu duduk menyuapkan gulungan pasta ke dalam mulutnya.
Reflek Ilna duduk mendekat, di hadapan Joshua. Keduanya berjarak meja makan yang dilapisi kaca, seperti meja makan pada umumnya."Aku tahu, kau luar biasa penasaran bagaimana kami bertiga memiliki hubungan, serta mengapa kau seolah diburu oleh kematian. Simpan dulu semua pertanyaanmu, baca ini sebagai gantinya."
Joshua meraih lipatan koran yang tak jauh dari ia duduk saat ini. Jemarinya menunjukkan sebuah berita utama yang terpampang jelas di halaman depan sebuah surat kabar lokal.
[SADIS! GADIS INI DIBUNUH OLEH TEMANNYA SENDIRI DI RUANGAN TERTUTUP]
。
KAMU SEDANG MEMBACA
delicate: scoups
FanfictionPerburuan itu dimulai ketika Ilna menyadari bahwa selama ini Seungcheol bukanlah kakak kandungnya. Tidak, Seungcheol tidak berbahaya. Tapi, selalu ada titik hitam yang Seungcheol coba sembunyikan dari Ilna sepanjang hidupnya. Lalu, mengapa di usiany...