なまえ
Ilna tahu betul bagaimana kondisi mengerikannya saat ini. Tubuhnya remuk redam tak beraturan, kegelisahan tak berujung yang Ilna rasakan seperti tak pasti. Entah apalagi yang akan Ilna hadapi kedepannya.
Satu hal yang dapat Ilna simpulkan dari seluruh kejadian beruntut menuju umur dua puluh tahunnya adalah, tidak ada yang menginginkan Ilna hidup.
Bau anyir besi berkarat menyertai langkah tertatih Ilna menembus tengah malam yang begitu menusuk melalui sela-sela pori hingga rasanya tancapan jarum tidak sebanding dengan rasa sakit yang Ilna alami saat ini.
Di ujung belokan jalan itu, tampak jelas lampu mobil menerangi gelapnya jalan. Aneh, jalan ini begitu gelap gulita.
"Nona? Kau baik-baik saja? Ada yang bisa kami bantu?" laki-laki berseragam polisi seperti Dokyeom kemarin turun dari sedan tua milik kepolisian. Tidak hanya seorang, tapi supir yang juga berseragam polisi turut serta turun mengamati Ilna dari ujung rambut hingga ujung kaki.
Seorangnya mendekati Ilna, merengkuh kedua bahunya. Ilna terdiam, membiarkan dirinya dibawa oleh kedua polisi itu.
Kedua polisi itu terdiam, mungkin merasakan hal yang janggal terkait kondisi Ilna saat ini. Tapi yang dapat mereka lakukan hanya terdiam, mungkin menganggap Ilna adalah korban kekerasan. Well, itu setengah benar dan setengah salah.
Ilna membiarkan helaian rambutnya jatuh menutupi wajahnya. Jujur saja, Ilna luarbiasa lelah, selama dua hari berturut-turut ini, semua kejadian yang terjadi di sekitarnya sangat tidak masuk akal.
Ditambah lagi, Ilna lagi-lagi harus sebatangkara. Tiada lagi tempat peraduan sepantasnya ia pulang dan dapat disebut rumah. Semuanya hancur berkeping tak tersisa, kenangan-kenangan bertumpuk yang pernah mengisi segala kekosongan hatinya terbakar perlahan, meninggalkan sisa abu yang mengotori seluruh emosinya.
Ilna meyakini, jalan yang ia tempuh memang begitu gelap gulita. Tak ada yang bersedia menjadi penerangnya. Tapi, jalanan ini juga gelap, Ilna meragukannya ketika mobil yang ia tumpangi ini berhenti di sebuah pekarangan kotor dengan berbagai bekas kaleng menumpuk membentuk blokade-blokade menyerupai tempat pembuangan sampah, atau ini memang tempat pembuangan sampah?
"Aku tidak menyangka hanya dengan menggunakan pakaian dan mobil bisa memikat wanita cantik ke tempat ini."
Shit for everything in this world.
Ngilu kaki yang kian menggerogoti sendi-sendi lainnya seolah melumpuhkan Ilna, membuatnya begitu lemah ketika kedua lelaki itu menariknya paksa masuk ke dalam kabin usang yang diterangi sebuah lampu neon berpijar menyilaukan.
"Sebenarnya kami penasaran apa yang terjadi denganmu, hingga terlihat begitu mengenaskan." Salah satu polisi gadungan itu berujar sembari melepas topi dan baju atasannya, menyisakan celana dengan sepatu yang masih menempel pada kulit tubuhnya.
Sedang yang lain meringis, menunjukkan sunggingan senyum yang paling memuakkan yang pernah Ilna temui sepanjang hidupnya. Tak kalah dengan kawannya yang sudah topless, laki-laki yang ini langsung melepaskan sabuknya, berikut pakaian bawahannya.
Sial! Ilna tidak mengira ia akan kehilangan dengan cara seperti ini.
"Lagipula, itu bukan urusan kami. Kenapa kita tidak saling bersenang-senang?"
Ilna yakin laki-laki yang kini tengah mengecup lehernya usai menenggak alkohol. Aroma alkohol ini bukan yang sering Seungcheol minum dan simpan di lemari pendingin. Ini campuran.
Ilna berontak tentu saja, tapi apa yang diharapkan dari gadis yang lengan dan kakinya terkoyak menunjukkan segarnya daging manusia dengan lelehan darah yang mengalir deras. Sia-sia.
Laki-laki satunya mendamba kaki kiri Ilna, menghirupnya bak feromon yang memabukkan. Dari ujung bawah hingga sampai pada ujung celana pendek Ilna.
Ilna mencekram daun telinga laki-laki itu, laki-laki yang berada di pahanya. Kemudian mengakibatkan amarahnya meledak, meraih tali tambang.
Ilna diikat menggantung berdiri, ralat hanya kedua ujung kuku kaki Ilna yang dapat menyentuh lantai dengan ayunan lemah.
PLAAKK
"Seharusnya kulakukan sedari tadi,"Tamparan keras mendarat di pipi kiri Ilna, menghasilkan anyir darah, lagi-lagi.
Kedua laki-laki itu tersenyum lebar, merobek cardigan Ilna menjadi dua bagian tak berbentuk. Menyisakan kaos ketat dan short pants jeans yang masih melekat.
Keduanya menikmati bagaimana tubuh Ilna tak terbalut sehelai benangpun. Mengecupnya, mendamba, seolah tak ada hari esok.
Jilatan panjang yang Ilna rasakan dari punggung bawahnya hingga ke ceruk leher memaksa Ilna mengeluarkan tangisan tak bersuara. Seungcheol, tolong aku.
"Close your eyes,"
Ilna tertegun, itu Seungcheol. Mustahil, suara Seungcheol, Ilna sudah dibuang.
Salah satu dari laki-laki itu sudah siap dengan bagiannya yang harus ia tuntaskan. Kegigihan Ilna untuk terus memberontak lama-lama menurun, jika pada akhirnya Ilna akan berakhir seperti ini, anggap saja ia sedang pada fase kehidupan karmanya. Mungkin Ilna memang layak untuk merasakan segala hukuman ini, mungkin saja Ilna memang harus menjalani dosa ini.
"Close your eyes, now!"
。
KAMU SEDANG MEMBACA
delicate: scoups
FanfictionPerburuan itu dimulai ketika Ilna menyadari bahwa selama ini Seungcheol bukanlah kakak kandungnya. Tidak, Seungcheol tidak berbahaya. Tapi, selalu ada titik hitam yang Seungcheol coba sembunyikan dari Ilna sepanjang hidupnya. Lalu, mengapa di usiany...