9

308 16 0
                                    

ゆめ

Nafas Ilna sudah terengah, jujur saja perbuatan kedua lelaki biadab itu memang membuat hormon dalam diri Ilna kalang kabut. Rasanya mata Ilna sudah membengkak, Ilna lelah menangis. Air matanya terbuang sia-sia, Ilna tidak mengerti, mengapa ia harus menangis, untuk siapa air matanya harus terbuang begitu saja? Untuk dirinya? Cih, bahkan Ilna meragukan dirinya sendiri yang begitu lemah dan bodoh.

Kelopak matanya memberat, bak ada ribuan beban yang memaksa kedua mata Ilna menutup. Biarkan saja sekarang Ilna tertidur, persetan bagaimana kedua orang lelaki itu akan menyelesaikan tubuhnya.















Pekat aroma pakaian terbakar menyadarkan Ilna dari tidurnya. Asap abu-abu sudah mebumbung tinggi, menghalangi arah pandang Ilna.

Kening Ilna mengernyit, matanya menyipit berusaha memfokuskan arah pandangnya ke dalam kobaran api yang terletak tak jauh dari tempatnya di gantung. Ini bukan aroma pekat pakaian terbakar saja, ada selingan bau daging panggang seperti party yang pernah Ilna kunjungi di usia keenam belasnya. Sial, apa itu tangan?



Tidak beres, sedari awal memang hidupnya sudah tidak beres. Tetapi, ini jauh lebih tidak beres ketika Ilna menyadari bahwa bukan hanya pakaiannya saja yang dibakar, tapi dua lelaki yang menikmati tubuhnya juga ikut terpanggang dalam amukan si jago merah. Keduanya terdiam, tak ada tanda berontak, keduanya telah mati.

Hal gila apalagi yang Ilna lihat kali ini? Rasanya Ilna sudah kehilangan emosi, ia terdiam tidak tahu bagaimana harus mencerna visual yang dikirimkan kedua bola matanya. Melihat bagaimana kedua jasad manusia terbakar dihadapannya membuat pikiran Ilna kosong. Seolah kehidupan dan emosi Ilna tak ada artinya ketika melihat ini semua.

Kobaran api itu makin meninggi, dengan kondisi Ilna yang masih terikat. Siapapun yang membunuh kedua lelaki itu pasti menganggap bahwa Ilna juga sudah mati dan turut meninggalkan Ilna sendirian di kabin ini.







DORRR
Suara letusan senjata api begitu memekakkan telinga, melepaskan tali yang menggantung Ilna.

Ilna jatuh terduduk di atas lantai dingin penuh debu. Disini tak jauh dari kobaran api, tapi kehangatannya tidak bisa menjangkau betapa dinginnya relung hati Ilna. Dingin, mati disini atau dimanapun tak ada bedanya.

Kedua tangan Ilna masih menyatu, terikat dengan simpul tali yang Ilna tak pernah pahami bagaimana para pemain di film dapat membukanya. Ada goresan yang begitu menyakitkan di antara kedua pergelangan tangannya, Ilna tak yakin itu berasal dari tangan kanan atau kirinya.






"Kau terlihat menyedihkan."

Nafas Ilna seolah berhenti, kakinya kelu untuk digerakkan. Tangan yang penuh luka seolah tak terasa apapun, ketika seluruh panca inderanya hanya berpusat pada pendengaran. Halusinasi suara Seungcheol begitu nyata, Ilna tidak mengerti. Dari sekian banyaknya halusinasi yang pernah Ilna alami, mengapa rangsangan suara Seungcheol bisa semenyakitkan itu. Ada luka yang tidak bisa Ilna jelaskan, ada goresan di hati Ilna yang kerap membuat Ilna bertanya, mengapa Seungcheol begitu tega terhadapnya?

Lelehan air mata mulai berdesakan keluar, Ilna tidak pernah tahu bahwa rasa rindunya terhadap Seungcheol bisa sesakit ini. Aliran air matanya menghapus jejak-jejak darah yang tercetak begitu erat pada kulit wajah Ilna.



"Jangan menangis, kumohon."

Ilna tersentak, mendongak. Kedua netranya menemukan sosok yang begitu ia rindukan juga tengah menangis, meratap. Itu bukan halusinasi, itu memang kakaknya, Choi Seungcheol.

Ada ribuan kata rindu yang ingin Ilna sampaikan dalam frasa tak berwujud. Meluap seketika tanpa ada yang terucap pada akhirnya. Sedang, Seungcheol begitu kukuh menjaga jarak dengan Ilna. Membangun sekat setinggi mungkin demi tidak mendekati Ilna.




"Kak,"
Dari berjuta ungkapan yang Ilna pahami, panggilan itu terdengar begitu rapuh dan pilu. Terluka, tersayat, terombang-ambing.

"Tidak bisakah kau mendekat?" suara parau Ilna begitu menyayat, ada banyak hujaman belati yang Ilna lemparkan pada Seungcheol lewat permintaannya baru saja.

Sudah sampai sejauh ini, Seungcheol harus bertahan. Ini semua demi Ilna!

Seungcheol masih diam, mulutnya terkunci dan tak akan pernah membukanya lagi, jika itu menyangkut keselamatan Ilna. Sudah cukup ikut campur Seungcheol hari ini, biar saja soal perasaan. Seungcheol tidak akan pernah selesai berurusan dengan hal itu. Kakinya bangkit dari simpuhan lututnya, berusaha mengumpulkan lagi sisa kesadarannya. Karena Seungcheol tidak pernah bisa sadar ketika bersama Ilna.

Suara tangisan Ilna seolah tak berhenti terus menghantui rongga pikiran Seungcheol. Terus berdengung, seolah mengikat Seungcheol agar tak pergi kemanapun. Membiarkan Ilna dengan tanda tanya besar yang tidak akan pernah Seungcheol jawab melalui lisannya sendiri.

Langkah Seungcheol terayun, berbalik meninggalkan Ilna dengan beban bertumpuk di kedua bahu mungilnya.






"Jahat!"
Ilna berlari, mengumpulkan sisa kekuatan yang dimilikinya. Melupakan sejenak betapa menyakitkannya luka-luka yang tercipta di tubuhnya. Menabrakkan kepalanya di punggung kokoh sang kakak, berusaha menyampaikan segala pertanyaan gila yang pernah Ilna pikirkan selama ini.




Tak bersekat, tak berjarak, itulah keduanya saat ini.

Seungcheol adalah pendusta ulung, ia berusaha membangun bentengnya terhadap Ilna, terus seperti itu. Hingga rasanya gejolak dalam dirinya ikut berpendar tak mau kalah, Seungcheol berbalik.











Bibir Seungcheol terasa begitu memabukkan, tanpa ada nafas alkohol dan narkoba di dalamnya. Bagaimana Seungcheol begitu memuja daging kemerahan milik Ilna. Menyesapnya bak ekstasi penuh candu, bergilir dari bibir bawah hingga selanjutnya.

delicate: scoupsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang