Di sarankan baca dulu bab bab sebelumnya
Gempa dengan magnitudo 8,9 mengguncang Desa Paluncah, Kabupaten Putri Malu. Gempa yang berlangsung selama 13 menit pada pukul 6 pagi menyebabkan air laut menyapu daratan dengan ketinggian 50 meter. Tsunami di Negara Weilga ini tercatat sebagai tsunami terbesar di dunia. Sekitar 20 ribu warga tewas di temukan, dan sebagian besar tanpa identitas. Sisanya, pemerintah masih melakukan evakuasi
Klik!
Bocah laki-laki kelas 4 SD itu tanpa di sangka meneteskan air matanya. Entah mengapa, padahal ia tidak mempunyai keluarga di Desa Paluncah, namun ia seakan turut merasakan kedukaan yang menyelimuti negerinya.
"Kok, dimatikan, sayang?" Tanya seorang wanita berambut hitam pekat sambil mengulum ujung benang.
"Takut, Bu. Kok, bisa tsunaminya tinggi banget?" Bocah itu justru berbalik tanya.
"Kalau Tuhan sudah berkehendak, kita sebagai manusia hanya bisa menerima dan mengambil pelajaran, nak" Sang Ibu menerangkan dengan halus, sembari mengelus kepala kecil anaknya.
"Lusa kita datang ke pengungsian, sambil mengantarkan bantuan" Suara sang Ayah menginterupsi.
Sang Ibu dan anak itu pun mengangguk pelan sambil tersenyum.
• • • • • • •
Langit terus saja mendung, awan berwarna hitam pekat, seakan menyambut penghuninya dahulu yang sangat mencintai desa itu dengan segala keindahannya. Namun, sudah tak ada lagi suasana hidup seperti sedia kala. Alam menguji mereka dengan cobaan yang tentu tak semua manusia mampu menanggungnya.
Angin berhembus kencang, rintik-rintik air jatuh ke bumi, seolah turut menampakkan kesedihannya. Namun, tak menyurutkan semangat para pemuda itu melaksanakan pencarian. Sudah terhitung lima hari dari kejadian, mereka masih butuh usaha ekstra untuk mendapatkan korban-korban yang entah sudah tersembunyi di segala tempat.
Air laut telah surut, namun masih berwarna hitam pekat, bau, dan desa itu benar-benar hancur tak bersisa. Mayat bergelimpangan dimana-mana, tersangkut di tempat-tempat yang mudah di temukan, hingga tempat-tempat yang sulit di jangkau. Tak sedikit pula dari mereka sudah tak tertutupi apapun, pakaian yang mereka gunakan sebelumnya telah hancur lebur ikut bersama tsunami.
Seorang pemuda tiba-tiba heran, tadi saat ia berjalan seakan ada sesuatu yang timbul di antara bebatuan dan puing-puing tembok, dan hampir menyandung kakinya.
Diambilnya cangkul, dan berusaha membongkar rasa penasaran yang sempat menarik perhatiannya. Tiba-tiba ia berteriak sangat kencang
"Ada anak-anak! Cepat kesini, bantu keluarkan!" Sekitar tiga orang laki-laki itu berlari tergopoh-gopoh menghampiri sumber suara.Saat mereka mengeluarkan semua tenaganya menyingkirkan benda-benda besar, muncullah dua pasang tangan kecil. Hati mereka semakin berdegup kencang. Semoga masih ada harapan saat ini, walaupun kemungkinannya kecil.
Sampailah di ujung penantian, tubuh kecil perempuan tak berdaya itu membuat para pejuang ini mengucap syukur tak hentinya.
"Masih hidup, Pak!" Seru seorang lelaki berambut gondrong, tak lupa dengan peluh keringat di dahinya.
Orang-orang disana sontak memuji Tuhan akan kuasa-Nya. Ini benar-benar keajaiban Tuhan! Tubuh seorang anak kecil yang melawan ombak sekian tingginya, lalu bertahan selama 5 hari di dalam tanah dan ditimbun reruntuhan bangunan. Sungguh ajaib anak ini.
"Segera bawa ke rumah sakit!" Perintah sang pemimpin pasukan, diikuti dengan anggukan tegas anggotanya.
Semua isi dari desa benar-benar tak bersisa, maka para korban di bawa ke rumah sakit terdekat di kota. Ribuan media luar negeri menampilkan berita duka negeri damai ini. Seakan menjadi trending topic tahun ini. Cukup menyita perhatian dunia, dan banyak bantuan mulai berdatangan. Sekitar 200 negara mengirimkan bantuan pangan, sandang, dana menggunakan helikopter. Tak lupa pula penduduk negara ini sendiri yang tak habis menyalurkan bantuan. Semua bahu membahu bergotong rotong. Bahkan sangat banyak organisasi sosial yang di dominasi anak-anak muda turun tangan membantu di lapangan. Tentu tidak mudah untuk bangkit dari nol lagi dan memulai semuanya. Karena itu, semua penduduk meyisingkan lengannya, dan membantu dengan segala apa yang mereka punya.
• • • • • • •
Udara tenang di Kota Bergie, ibukota dari negara yang sedang di selimuti duka. Burung-burung berkicau seolah menyambut tuan mentari tersenyum. Embun pagi mengetuk-ngetuk kaca jendela transparan itu, seolah membangunkan gadis kecil yang tak bosan memejamkan mata.
Mungkin gadis itu sedang "mengistirahatkan" jiwa nya sejenak. Bukan hal yang mudah untuk mereka yang masih kecil, dipaksa bangun untuk menghadapi kenyataan. Ada banyak hal yang akan menjadi sesuatu yang baru di kehidupannya. Melewati ritme kehidupan yang memaksanya untuk merasakan kepedihan untuk menjadi dewasa sebelum waktunya.
Suara tangisan seakan sudah menjadi sesuatu yang wajar di sana. Bukan tangisan biasa, ya. Tangisan yang terdengar setiap hari disini adalah tangisan meraung-raung, tak terima, bahkan suara nya tak sanggup menggambarkan betapa sakitnya kehilangan. Harta, benda, keluarga, semua!
Bahkan relawan-relawan yang datang menghibur tak mampu menghapus kepiluan mereka. Sekedar datang menonton, bertepuk tangan, dan lupa sejenak. Setelah hiburan selesai, mereka kembali seperti wadah tanpa udara. Kosong, hampa, semua kejadian ini seakan punya ruang tersendiri di hati mereka. Ruang yang takkan mudah mereka lupakan.
Beberapa perawat terlihat sedang berdiri di sekitar kasur pasien. Gadis kecil itu terlihat mulai menggerakkan jari jemarinya. Perlahan lahan bola matanya terbuka, bibir pucatnya bergerak-gerak seakan berusaha mengeluarkan kata-kata. Orang-orang di dalam ruangan putih itu tersenyum lega, tak lupa mengucap syukur. Sungguh langka seorang anak kecil tetap bisa bertahan hidup setelah sekian beratnya apa yang sudah dia lalui.
Dahinya terlihat mengernyit, seolah sedang berpikir keras. Atau mungkin ia sedang berusaha bangun dari mimpi panjangnya?
"Bening, dimana?" Kalimat pertama yang ia ucapkan
"Kamu di rumah sakit, nak. Kamu selamat!" Ucap salah satu perawat yang nampaknya memang seorang ibu.
Garis bibirnya terangkat ke atas, meskipun berusaha mengingat potongan-potongan kejadian membuat kepalanya terasa sakit sekali. Bola matanya yang berwarna cokelat terlihat berbinar, khas sekali. Siapapun yang menatap matanya pasti tak akan bosan, dan tak akan lupa dengan ciri khas binar iris mata cokelatnya.
Baru saja ia tersenyum, tiba-tiba warna wajahnya berubah. Ia baru teringat, ada orang-orang penting di hidupnya yang tak terlihat sejak ia membuka mata.
"Ayah sama Bunda mana?" Pertanyaan yang paling di hindari orang-orang disana. Wajah para perawat itu tetap tersenyum walau dalam hatinya agak teriris mendengar pertanyaan tersebut.
Bagaimana cara menjawabnya? Bagaimana memahamkan pada anak seumur dia tentang sesuatu yang terlalu cepat untuk ia hadapi?
"Orangtua kamu ada kok, di ruangan sebelah," Gadis bermata cokelat itu tersenyum kecut. Orang-orang terlalu percaya diri untuk menyebutnya anak-anak. Setelah ia ingat bagaimana ia kehilangan genggaman di tengah huru-haranya gempa terjadi, bagaimana ia bisa percaya bahwa mereka masih ada sampai sekarang? Dengan melihat raut wajah perawat saat menjawab pertanyaannya pun cukup dirinya yang tahu. Ya, dia sudah tahu jawabannya.
Terkadang, dengan pura-pura tidak tahu sedikit membantu meringankan jiwanya yang masih rapuh. Ia memilih untuk diam, dan membiarkan wanita-wanita berseragam putih di depannya ini melanjutkan "kebohongan" baiknya.
Ya, dia simpan dulu semua perasaan hancur itu. Ia masih ingin menyembuhkan lukanya sendiri, sebelum berjalan menuju luka yang di torehkan dunia.
Untuk kamu semua yang membaca, jangan biasakan memendam, ya😊
I got the feeling like .........
Omg, i dunno what to sayJangan lupa vote, ya!

KAMU SEDANG MEMBACA
Stuck
Teen FictionBerawal dari bencana besar yang menggemparkan seluruh penjuru negeri nya. Membawa gadis itu pada kehidupan dengan berbagai ritmenya. Begitu kuat melewati semua itu. Sampai lupa, ada ruang yang jauh di relung hati nya, dan seseorang itu berhasil meny...