Aku menggerakkan kursi rodaku keluar kamar. Kaki ku yang tertimpa bangunan menimbulkan banyak luka menganga. Untung saja tidak sampai lumpuh.
Aku tergerak menuju ruang sebelah. Mengingat para perawat mengatakan orangtua ku berada di sana. Bola mataku bergerak ke atas menyusuri pintu di depanku. Aku tertawa pilu. Ternyata orangtuaku memang di ruang sebelah. Ruang ini. Kubaca papan yang terpampang di atas pintu.
Kamar jenazah.
Aku tersenyum perih menahan air mataku yang mulai menggenang di pelupuk mata. Para perawat itu ternyata tidak berbohong.
Aku masih duduk terpaku di atas kursi rodaku. Tak ada niatan sedikitpun untuk masuk ke dalam sana. Seakan ada batu besar menghantam pikiranku. Seperti ada yang sedang mengorek-ngorek luka dihatiku. Sakit. Sakit sekali. Bahkan lebih sakit dari sakitnya tertimbun reruntuhan bangunan. Lebih sesak daripada menahan napas dalam air saat tsunami kemarin. Aku? Bening? Yatim piatu? Duniaku seolah terhenti. Bahkan aku tak menyadari beberapa orang berlari menghampiriku.
Raut wajah mereka terlihat khawatir. Sepasang suami istri dan seorang anak lelaki yang tampaknya sebaya denganku. Dan tak lupa seorang perawat yang wajahnya tak asing bagiku.
"Kamu mau ikut ke pemakaman, nak?" tanya perawat padaku.
Aku mengangguk lemah. Berusaha sekuat mungkin menyunggingkan senyuman tipis. Lalu wajahku berpaling ke sepasang suami istri itu. Memasang wajah bertanya-tanya. Mereka pun langsung paham.
"Oh iya, nak. Kami sedang menjenguk korban-korban disini. Kenalkan, saya Bu Lily, ini suami saya, Pak Anto," senyum khasnya seakan mengingatkanku pada bunda. Aku langsung menyalimi mereka, mencium punggung tangan mereka.
"Kamu boleh panggil saya Ibu, dan Bapak. Dan ini anak saya, masih kelas 4 SD, namanya Arjuna," Aku menggerakkan pandanganku ke samping Ibu dan Bapak. Lalu menyodorkan tanganku. Dan tangan kecilku di sambut hangat olehnya.
"Bening,"
"Arjuna,"
"Nah, Bening. Kamu boleh panggil dia Mas Arjuna. Kan lebih tua setahun," Sang Ibu memberi tahu.
Aku mengangguk. Sepertinya Tuhan sedang menunjukkan kasih-Nya padaku. Pertemuan singkat ini cukup mengobati rasa kehilangan sosok-sosok penting dalam hidupku. Apalagi aku merasa seakan punya saudara baru, mengingat aku hanyalah anak tunggal yang sekarang benar-benar sebatang kara.
Ayah, Bunda, tunggu Bening, ya. Bening bakal antarin Ayah, sama Bunda. Bening bersyukur, Allah lebih sayang Ayah sama Bunda. Mungkin penderitaan dan sakit kalian cukup sampai sini aja. Doain Bening ya, supaya bisa ikhlas.
• • • • • • •
Suasana di pemakaman begitu hikmat. Aku menengadahkan kedua tanganku, seraya berdoa benar-benar tulus meminta dari hati. Air mataku sudah mengering. Mungkin ini menandakan saking kecewanya diri ini, aku pun sudah tak bisa mengeluarkan air mata.
Sejak tadi aku di temani Ibu dan Bapak yang baru saja kukenal. Dan Mas Arjuna yang sejak tadi mendorong kursi rodaku. Rintik-rintik hujan mulai berjatuhan. Orang-orang yang melayat mulai bubar. Tak sedikit pula mereka memelukku seraya memberi semangat. Sungguh ini merupakan sesuatu yang mengharukan. Aku tak mengenal satupun orang-orang yang melayat ini. Tapi mereka begitu sukarela ikut mengantar hingga ke pemakaman. Semoga Tuhan membalas kebaikan mereka.
Ku pandangi dua makam yang berjejer di depanku.
"Ayah, Bunda, Bening pulang, ya. Jangan rindu. Bening insya Allah bakal sering-sering main kesini, oke?" Aku berbicara sendiri, seolah sedang bercakap dengan mereka.
Bapak hanya tersenyum kecil melihatku. Ibu berusaha menutup mulutnya menahan tangis. Mas Arjuna tetap setia memayungiku lalu mendorong kursi rodaku untuk kembali pulang.
Selama perjalanan pulang, aku hanya diam. Tiba-tiba ada sesuatu muncul di otakku. Dan seakan baru loading sekarang. Ya Tuhan! Raka! Dimana dia sekarang? Bagaimana kabarnya? Jantungku mulai berdegup kencang. Aku mewanti-wanti Raka masih ada. Karena dia termasuk orang penting di hidupku. Bagaimana bisa aku mengatakan bahwa aku sebatang kara? Aku masih punya Raka!
Sesampainya di rumah sakit, aku kembali ke kamar rawat inapku. Kata perawat, mungkin setelah dua minggu aku baru boleh pulang. Menunggu luka-luka di badanku kering, tak terhitung saking banyaknya.
"Bening," Suara lembut Ibu mengagetkan lamunanku.
"Iya, Bu?"
"Kamu yang kuat ya, sayang," Ucapan Ibu begitu sederhana. Namun cukup membuat rindu dihatiku menyeruak. Aku rindu sosok Ayah dan Bunda. Seketika air mataku meluncur deras tanpa ku minta. Ibu memelukku, dan mengusap-usap punggungku. Mungkin semua orangtua yang melihat keadaanku, pasti begitu malang melihatku.
Aku terus menangis sesegukam. Mengeluarkan suara isak tangis pilu. Siapapun yang mendengar, pasti bisa merasakan sedalam apa kesedihan itu. Kurasakan bajuku basah. Sepertinya Ibu juga menangis di pundakku.
"Nak Bening. Mau kan jadi anak Ibu? Jadi anak Bapak? Mas Arjuna juga bakal jadi saudara kamu. Kamu mau ya?" Tangisanku semakin kencang. Di umur-umur seusiaku, bukankah memang masanya butuh perhatian? Butuh pelukan? Butuh kasih sayang? Butuh di dampingi di masa-masa pertumbuhanku?
Aku tak henti mengucap syukur dalam hati. Aku kira tak ada keluarga yang sudi menerimaku. Badanku masih banyak luka. Wajahku sudah tak semulus dulu, banyak luka yang terlukis di wajahku pasca tsunami. Tapi kata perawat, hanya butuh waktu untuk mengembalikan seperti sedia kala.
"Iya, Bu. Bening mau," Kurasakan satu pelukan lagi bertambah di dekapanku. Bapak. Beliau ikut meneteskan air mata.
"Terima kasih, nak. Kamu sekarang putri kami," Suara berat itu terdengar agak serak. Tanganku tiba-tiba ada yang menggenggam.
Mas Arjuna.
"Dek Bening," Ucap Mas Arjuna. Aku tersenyum manis menanggapinya.
Suasana haru memenuhi ruangan. Wajah kami semua basah dengan air mata. Aku percaya, apapun skenario Tuhan yang sedang aku jalani, pasti ini yang terbaik. Sekalipun Tuhan ambil semua orang-orang yang ku cintai di hidup ini, aku percaya bahwa ini pula bentuk cinta Tuhan padaku. Di balik tsunami yang hebat ini, di balik porak poranda nya desa ini, di balik semua kepedihan yang menghantamku berturut-turut, Tuhan menyiapkan hadiah yang besar untukku pula. Tidak semua anak di rumah sakit ini langsung mendapatkan orangtua. Sebagian dari mereka ada yang masuk panti asuhan. Sedangkan aku? Tuhan kirimkan keluarga baru untukku. Meski baru mengenal, aku percaya bahwa mereka orang-orang baik.
"Bapak keluar dulu ya. Mau urus surat adopsi," Aku tersenyum manis menanggapi Bapak yang barusan mengelus kepalaku.
"Bening, kamu sekarang tidur ya. Ibu mau keluar beli baju buat kamu. Nanti di jagain sama Mas Arjuna. Mas? Jagain adek, ya," Pesan Ibu kepada kami. Aku mengangguk seraya mencium tangan Ibu. Begitu pula dengan Mas Arjuna.
Bisa dibilang aku tak memiliki baju satupun. Baju yang ku kenakan sekarang pun baju rumah sakit. Benar-benar hanya membawa diri ke sini. Semua yang ku miliki lenyap di makan tsunami.
"Mas Arjuna,"
"Iya?"
"Mas anak tunggal?" Tanyaku penasaran.
"Iya. Dulu sih ada kakak perempuan, tapi sudah meninggal saat umur 5 bulan"
Aku ber-oh ria. Ternyata kisahnya agak mirip denganku.
"Makanya Ibu senang banget bisa punya kamu. Ibu pengen banget punya anak perempuan" Lanjut Mas Arjuna.
"Sudah, ya. Kamu tidur sekarang," Mas Arjuna mengelus-elus kepalaku. Aku mulai memejamkan mataku.
Sungguh aku tak tahu akan menyebut ini hari bahagia atau apa. Semuanya bercampur jadi satu. Yang jelas, aku tahu. Bahwa Tuhan tak akan diam melihatku. Aku mulai menikmati rajutan skenario-Nya yang penuh kejutan dalam hidupku.
Tuhan. Tak pernah tidur.
Sepi banget kayak hati :(
*ehComment yaaa biar lapak ini ramee! Dan jangan lupa vote😉
Aku bakal semangat banget kalau dapat dukungan dari kalian😌Terima kasih yang sudah mengikuti sampai bab ini!

KAMU SEDANG MEMBACA
Stuck
Novela JuvenilBerawal dari bencana besar yang menggemparkan seluruh penjuru negeri nya. Membawa gadis itu pada kehidupan dengan berbagai ritmenya. Begitu kuat melewati semua itu. Sampai lupa, ada ruang yang jauh di relung hati nya, dan seseorang itu berhasil meny...