"Raka! Sini lihat, kelapanya sudah jatuh!" Ucapku sambil menunjuk buah kelapa yang telah tergeletak di tanah.
"Ayo, kita minta tolong paman buat di belah!" Dia mengambil buah itu dan kami berjalan sekitar 20 langkah menuju rumah Paman Eri.Hembusan angin melambaikan pelepah-pelepah pohon kelapa. Sinar jingga perlahan mulai beratraksi menunjukkan keindahannya bersama lautan. Beberapa anggota keluarga terlihat sedang asyik bermain voli, sesekali melemparkan candaan. Ada pula pasangan yang tengah duduk bersama di bawah pendopo beratapkan pelepah kelapa.
Aku tak henti melayangkan senyuman kepada orang-orang yang berpapasan dengan kami. Tak jarang sepasang suami istri yang telah lanjut usia memperlihatkan ekspresi gemas mereka melihat kami. Hampir satu desa mengenal aku dan Raka. Bocah sekolah dasar kelas 3 yang selalu bersama di bawah terik matahari bermain di pantai, ataupun menyapa para petani garam yang sungguh khas dengan candaannya.
Akhirnya, langkah kami terhenti di salah satu rumah sederhana yang khas dengan tanaman bunga anggreknya yang memanjakan setiap mata yang melewati pekarangannya.
"Paman Eriiiiiiiiiii," Tak lupa dengan perpaduan khas suara cempreng kami.
Terlihat Paman Eri yang muncul di depan pintu kayu bercat ungu dengan singlet putihnya.
"Kenapa? Minta belahin kelapa lagi?" Suara beratnya melontarkan pertanyaan yang sama setiap harinya.
Kami mengangguk-angguk sambil menyengir tanpa dosa.
Dengan mahir Paman Eri mengambil parang kesayangannya, lalu memberikan kelapa itu lengkap dengan dua sedotan di dalamnya."Terima kasih Paman Eri, nanti malam Raka antarin ayam bakar buatan kakak deh!" Ucap Raka. Aku tahu, Paman Eri menyukai kakak perempuannya Raka yang bekerja sebagai perawat di desa ini. Bahkan satu desa tahu, bahwa Paman Eri menyukai Kak Sarah, kakaknya Raka.
Paman Eri menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal, lalu mengusir kami jauh-jauh. Tapi kami tahu, beliau sangat menyayangi kami.
Aku dan Raka langsung menyebrangi jalan kecil, dan sampailah di pinggir pantai. Menuju tempat favorite kami, yaitu di atas batang pohon kelapa tua yang sudah lama roboh, dan dijadikan tempat duduk oleh kami.
"Ning, kamu sudah kerjakan PR dari Bu Icha?" Sudah kutebak Raka belum mengerjakan PR tentang pecahan yang di berikan Bu Icha, guru matematika kami.
"Sudah dong. Bunda kan gak bakal bolehin Bening main keluar sebelum kerjain tugas sekolah dulu" Raka terkekeh sambil menggaruk lututnya yang tergigit semut.
"Kamu kan enak ada bunda. Kalau aku setiap hari harus dengar omelan nenek minta di pijitin lututnya terus. Jadi nya aku malas deh kerjain PR" Aku tahu, orangtua Raka telah tiada. Ayahnya seorang nelayan yang bekerja di suatu kapal. Dan kapal itu telah tenggelam saat badai 2001 di Perairan Tanjung Janda. Ibu nya meninggal saat melahirkan Raka, karena fasilitas di desa ini saat itu masih sangat minim. Butuh waktu 4 jam perjalanan menggunakan mobil menuju ke kota.
Angin sepoi-sepoi selalu menghipnotis kami. Duduk bersama tanpa kata yang terlontar lagi. Menyimak senja yang selalu menjadi tontonan kami setiap hari. Tak ada gadget seperti punya Arum, sepupuku yang tinggal di kota. Tak ada televisi, yang selalu ada kartun Spongebob Squarepants saat aku bermain ke rumah Arum.
Aku mencintai Paluncah, dan semua penghuni desa ini. Desa tempat kelahiranku. Tempat aku memulai semuanya, dan belajar banyak hal disini. Aku cinta semua orang disini, semua seperti keluarga. Tak ada yang tak acuh disini. Semua melebur bagai tak ada jarak diantara kita. Termasuk sahabatku yang satu ini. Raka, yang selalu bisa membuatku tertawa dengan candaan gurihnya. Walaupun aku tahu, di umur sekecil ini dia harus mampu menerima keadaannya sejak lahir. Tanpa pernah tahu, bagaimana wajah Ayah dan Ibu nya tercinta.
"Bening! Jangan bengong aja. Ayo, pulang. Nanti bunda sama nenek nyariin kita, sudah mau bedug nih,"
Lihat, bahkan keluarga kami sudah seperti keluarga sedarah. Begitu akrab, dan tahu watak dan kebiasaan kami masing masing.
Kami pun pulang, sambil menenteng sandal jepit kesayangan kami.
Ya, pulang tanpa alas kaki adalah kebiasaan yang tak bisa lepas dari kami.• • • • • • • • •
Pagi yang tenang, setelah shalat subuh berjamaah bersama bunda dan ayah, aku segera beranjak mandi dan sarapan.
"Bening, kamu pelan-pelan harus bisa belajar masak, ya. Minimal goreng telur ceplok deh, nanti bunda ajarin"
Setiap pagi, ada saja pesan-pesan yang bunda lontarkan. Dan pagi ini tentang telur ceplok."Tapi bun, Bening takut kena cipratan minyak. Ntar malah kayak bunda waktu itu tangannya kena minyak, terus melepuh, deh"
"Bening, Bening. Goreng telur gak kayak goreng ikan. Kamu harus bisa belajar, soalnya kan Ayah sama Bunda sewaktu-waktu nggak ada di rumah. Jadi kamu gak perlu nahan lapar sampai kami pulang" Huh, kalau Ayah sudah ikut campur, mau tidak mau aku harus turutin.
Ayah mengantarku ke sekolah menggunakan sepeda. Sepanjang perjalanan kami terus menyapa orang-orang yang bertemu dengan kami. Entah itu Pak Diman dengan senyum manisnya, Kak Sarah yang sudah rapi dengan seragamnya, sampai Bu Salma yang sudah siap dengan nasi kuning langganan satu desa.
"Belajar yang rajin ya, nak. Bekal nya harus habis di makan, kasihan tuh bunda sudah masak pagi-pagi" Ucap Ayah sambil mengelus kepalaku. Aku tersenyum mengangguk, lalu melambaikan tanganku tanda berpisah.
Tiba-tiba ada suara mengagetkanku
"Bening Kalya Merissa!" Untung saja masih pagi, otakku masih fresh. Kalau siang, otakku sudah tak sedingin pagi hari, dan aku pasti mengomel tidak jelas. "Raka, kamu kebiasaan deh!" Ia justru tertawa terbahak-bahak.
Aku memutar bola mataku malas.
Oh iya, mengenai nama lengkapku, Bening itu kata Bunda melambangkan wanita gitu. Kalau Kalya, di ambil dari bahasa sanskerta, artinya kebahagiaan. Dan Merissa, nama kakak perempuan sebelum aku yang sudah meninggal ketika umur 4 hari. Itulah mengapa ayah dan bunda sangat menyayangiku, karena aku anak satu-satunya. Dan aku datang menghapus kesedihan mereka setelah kehilangan anak pertama. Aku, hadiah terindah bagi mereka.Terima kasih sudah jadi pembaca pertama ku! Mungkin kalau kamu tertarik sama cerita ini, boleh vote nya dong ya? Hehe
Sebenarnya aku pertama kali nulis cerita fiksi begini. Karena basicnya aku lebih suka nulis puisi-puisi, kata kata motivasi, apapun deh yang ada sangkut paut nya sama seluk beluk manusia. Tapi kali ini aku mau mencoba jalan baru, sambil cari minat aku dimana.
Akhirnya aku putusin buat cerita yang pelan pelan aku masukkan pesan pesan hidup yang pernah aku pelajari dari guru guru aku.Kritik dan saran aku welcome banget yaa, tapi jangan lupa bahasa nya tetap tertata😊😊😊
Kalau mau temenan juga boleh, hihi. Salam kenal, dari aku penulis amatiran!

KAMU SEDANG MEMBACA
Stuck
Fiksi RemajaBerawal dari bencana besar yang menggemparkan seluruh penjuru negeri nya. Membawa gadis itu pada kehidupan dengan berbagai ritmenya. Begitu kuat melewati semua itu. Sampai lupa, ada ruang yang jauh di relung hati nya, dan seseorang itu berhasil meny...