"Jadi Kak Arjuna itu kakak kamu?"
Aku berdecak kesal, hampir saja mengumpat. Raka terus melayangkan pertanyaan yang sama setiap hari.
Aku mengaduk-aduk seblak di hadapanku dengan gemas, hingga menimbulkan dentingan yang keras dari sendokku. Hari senin yang biasa saja menurutku, dan harus berakhir dengan manusia tak tahu diri nan lemot ini. Untung saja hari ini dia yang akan merogoh dompetnya.
"Stop, Raka," Nada suaraku terdengar lemah. Aku begitu lelah menghadapi Raka yang tak kunjung menaruh kepercayaan.
"Okey, aku percaya kalau dia memang kakak kamu, tapi jelas bukan sedarah kan? Dan dia punya sisi lain yang gak dia tunjukin sebagai kakak," Aku semakin pusing dengan kata-kata Raka. Bisakah dia mempermudah pembicaraan ini dengan kalimat yang efektif?
"Maksud kamu apa?" Alisku terangkat sebelah. Sepertinya otakku mulai paham dengan isi pembicaraannya.
"Bening,"
"Aku cowok, aku paham,"
"Iya, terus kenapa?!" Inilah buruknya aku sekarang. Emosiku mudah sekali terpancing, sekalipun hanya dalam pembahasan sederhana.
"Sudahlah, aku jelaskan juga kamu gak bakal paham. Kamu keras kepala, coba kamu dinginkan kepalamu dulu, lalu cerna kata-kataku,"
Aku mengalihkan pandanganku ke arah jendela besar yang langsung berhadapan dengan jalan raya. Langit terlihat mendung, dan mulai menurunkan rintik-rintik air. Beberapa pejalan kaki terlihat mulai mempercepat langkahnya. Ada juga pengguna kendaraan roda dua yang berhenti di pinggir jalan untuk memasang jas hujan. Sekarang bulan Oktober, pantas saja hujan bisa datang lima hari bahkan lebih dari seminggu. Dan tentu saja, bukan sesuatu yang menyenangkan untukku.
Drassss!
Langit seakan menumpahkan tadahan air yang sejak tadi ia tahan. Perpaduan suara hujan bertemu atap seng begitu menguasai ruangan. Mungkin jika seseorang mau berbicara dengan orang di hadapannya, ia harus mendekatkan telinganya.
Raka sejak tadi sudah sibuk dengan ponselnya.
Dan aku sedang berperang dengan diriku mati-matian. Gak! Gak boleh! Please jangan sekarang!
Kakiku tak bisa berhenti bergerak di bawah meja. Aku mencoba bersenandung sumbang, untuk mengalihkan otakku yang mulai memproduksi memori-memori tak kuinginkan.
Diam-diam aku mengambil garpu yang sejak tadi tak digunakan. Garpu besi itu kuarahkan ke atas tanganku yang berpangku di atas paha. Aku dalam keadaan di bawah sadar sekarang. Karena aku sendiri kalut dengan pikiranku. Dan ini caranya melampiaskan rasa amarahku saat memori-memori itu muncul menyerbuku.
Aku menggesek tiga ujung garpu itu di atas tulang pengumpil. Semakin aku melawan rasa takutku, semakin hikmat aku menggoreskan garpu itu membentuk karya baru. Aku begitu menikmati duniaku sendiri.
"Bening, ayo pulang," Suara Raka mengagetkanku. Aku yang sejak tadi lupa dengan sekitarku langsung gelagapan tidak jelas, dan garpu itu terlepas dari genggamanku. Jatuh ke lantai.
"Maaf," Suara dentingan garpu jatuh menggema satu cafe. Karena suasana hening, dan....
Sejak kapan hujan berhenti?!
Raka menatapku keheranan. Untunglah pria itu tidak ambil pusing dengan gelagat anehku barusan. Ia langsung berjalan ke arah kasir dan membayar makanan kami tadi.
Lalu kami berjalan keluar menuju parkiran motor. Aku memegangi tangan kiri ku sedari tadi. Selalu, dan pasti. Rasa sakit dari goresan ini selalu terasa ketika aku benar-benar sadar. Atau lebih tepatnya, saat aku sudah waras.
Aku naik ke motor kebanggaan Raka. Ternyata kami menghabiskan waktu di cafe hingga sore. Bahkan ini sudah mau maghrib.
Aku menatap langit. Langit jingga seakan sedang menertawakan ketakutanku. Aku tahu, senja memang indah, dan selalu begitu. Tapi akan beda rasanya jika justru membangkitkan memori-memori yang berusaha kutolak untuk ter-transfer ke otakku. Aku memalingkan wajah dari langit. Aku bingung, mengapa hari ini alam menguji mentalku berturut-turut?
Aku menyandarkan kepalaku di punggung berlapis jaket kulit milik Raka. Aku merasakan tubuhnya sedikit terkejut saat kepalaku menyentuh punggungnya. Aku sengaja melakukan itu, agar pandangan mataku hanya tertuju ke arah bawah. Aku benar-benar lelah hari ini. Aku memang tidak melakukan aktivitas berat, namun jiwaku seperti habis di kuras energinya. Setengah dari berat tubuhku hampir sepenuhnya ku bebankan ke punggung sahabatku.
"Kamu kenapa?" Ternyata kami sudah sampai di depan rumahku.
"Hey," Tangan kekarnya menangkup wajahku. Aku hanya tersenyum lemah, aku benar-benar lelah hari ini.
"Kamu masih marah gara-gara aku?" Rasanya aku ingin berteriak di depan wajahnya. Bukan Raka! Bukan itu!
Tapi aku hanya diam mengunci rapat mulutku. Untuk bersuara saja aku tidak memiliki tenaga.
"Makasih Raka," Aku masuk ke halaman rumah sambil menenteng helm hitam kesayanganku. Lalu melambai-lambaikan tangan dari jauh, untuk meyakinkan pada Raka, aku baik-baik saja, aku gak marah sama kamu.
Aku masuk ke dalam rumah. Sepi, kemana semua orang-orang rumah? Aku melangkahkan kaki menaiki anak tangga. Satu langkah saja terasa berat sekali, dan perjalanan menuju kamar seakan penuh drama. Lama, aku tak berhenti mengeluh.
Aku membuka pintu kamarku, dan mengintip ke jendela. Tatapanku bertemu dengan Raka dari balik kaca jendela bening. Raka langsung menyalakan mesin motornya, dan menancap gas. Sepertinya dia baru akan pulang setelah memastikan aku sampai di kamar dengan selamat. Manis juga anak itu.
Tubuhku terhempas begitu saja di atas kasur. Aku menatap langit-langit kamar. Terlihat begitu banyak stiker glow in the dark berbentuk bintang dan bulan.
Aku bingung dengan diriku sendiri. Aku memang membenci hujan, senja, laut, kelapa, telur ceplok. Tapi mengapa itu semua tidak berlaku untuk bintang dan bulan? Aku sampai sekarang masih menyukai mereka semua. Bahkan setiap memandanginya, tak ada pikiran-pikiran aneh menyergap.
Ah, rasanya sudah lama aku tidak menikmati malamku bersama bintang dan bulan di balkon kamar. Tempat me time favoriteku. Bahkan Mas Arjuna segan menghampiriku jika aku sedang berada di balkon.
"Iya, nanti malam aku bakal datang,"
"Gak, kok, nggak! Iyaa, bentar lagi aku mau makan nih. Kamu jangan lupa makan, ya,"
Sayup-sayup terdengar seperti orang sedang bercakap-cakap dalam telepon. Sepertinya aku mengenal pemilik suara itu.
Aku melangkahkan kaki ke arah pintu dan membukanya dengan hati-hati. Aku mengintip dari lubang pintu. Dan ternyata benar! Pemilik suara itu sedang memegang handphonenya dan menaruh di samping kuping. Sepertinya Mas Arjuna tidak menyadari bahwa ada seseorang sedang cekikikan sendiri memperhatikan dirinya.
Pikiranku mulai melayang ke segala prasangka. Mungkinkah orang yang di dalam telepon itu orang yang....
Eum, spesial?Setahuku Mas Arjuna tidak pernah berdekatan bahkan berurusan dengan makhluk yang bernama perempuan. Kecuali aku dan ibu.
"Hayoo! Mas punya pacar yaa?"
Jangan lupa tinggalin jejak ya😊
Ambil baiknya, buruknya jangan di bawa, hehe.
Terima kasih banyak yang sudah mengikuti sampai bab ini!
Have a nice day🤪💛

KAMU SEDANG MEMBACA
Stuck
Teen FictionBerawal dari bencana besar yang menggemparkan seluruh penjuru negeri nya. Membawa gadis itu pada kehidupan dengan berbagai ritmenya. Begitu kuat melewati semua itu. Sampai lupa, ada ruang yang jauh di relung hati nya, dan seseorang itu berhasil meny...