Aku menutup buku diaryku.
Setiap hujan datang, otakku selalu menampakkan potongan-potongan gambar di masa lalu. Gambar momen-momen yang hingga sekarang menjadi luka di dasar hatiku
Sekitar 9 tahun lalu.
Semua cerita tentangku di masa kecil memang berakhir tragis. Namun tak memadamkan semangatku untuk menuliskan semua dalam buku yang di beri Mas Arjuna saat aku ulang tahun ke 17 tahun beberapa pekan lalu. Aku memang aneh. Menulis sejarah menyakitkan dalam hidupku. Tapi ini salah satu cara untuk mencegah ingatanku melupakan sebagian momen indah dahulu
Tsunami yang memiliki ruang tersendiri di hatiku, bahkan melukis sejarah di dunia. Aku memang tak banyak menangisi kepergian saat itu, namun aku terlalu banyak memendam sejak saat itu. Terlalu banyak kebahagiaan di masa lalu yang pada akhirnya menjadi ketakutan yang menghantuiku bertahun-tahun.
Semua tentang Desa Paluncah. Senja, kelapa, hujan, laut, bahkan telur ceplok sekalipun. Menjadikanku seorang yang terus berlari menghindari semua yang berkaitan dengan masa lalu.
Duarrr!
Petir di luar rumah seakan menggedor jendela kamarku. Sontak aku langsung menutup gorden, dan berangsur ke kasurku. Aku bergelung dalam selimut dan menutup kedua pendengaranku.
Aku benci situasi sekarang!
Otakku seakan sedang bekerja sama dengan masa laluku. Seperti melihat di layar lebar, potongan gambar saat aku tenggelam dalam air, saat aku berusaha menahan napas di dalam tsunami, saat aku melihat tangan-tangan manusia yang berusaha menggapai tubuhku dan menarik-narik semua organ tubuhku.
Kepalaku sakit. Sakit sekali, rasanya seperti ditarik dari akarnya. Pikiranku seakan sedang memaksa mengorek ingatan-ingatan menyedihkan.
Tanganku tanpa sadar bergerak menuju meja kecil di samping kasurku. Meraih benda kecil yang sudah bertahun-tahun menjadi kesenanganku.
Pisau lipat.
Hatiku yang paling dasar seakan sadar aku sedang dalam mode tidak waras. Tapi otakku seakan mendikte seluruh organ tubuhku untuk melakukan itu.
Tangan kananku mengenggam benda tajam itu sambil bergetar. Lalu pisau itu menari-nari di atas nadi tangan kiriku. Aku tersenyum menyeringai melihat pola-pola goresan yang mulai mengeluarkan darah segar.
Duarrr!
Otakku sekarang seakan seperti komandan. Memerintah tanganku untuk lebih keras menggambar pola-pola tak beraturan. Aku memejamkan mata, air mataku mengucur deras. Aku semakin ingin marah dengan situasi sekarang.
Aku merasakan sakit luar biasa dari goresan pisau lipat kesayanganku. Tapi jauh di dalam sana, hatiku lebih sakit. Semakin alam memperlihatkan segala sesuatu yang menjadi kebahagiaanku kala itu, semakinlah aku menjadi-jadi berubah seperti orang gila.
Ibu. Bapak. Mas Arjuna.
Mereka tahu aku punya trauma berat. Tapi mereka tidak pernah mengetahui bahwa gadis malang ini sering melakukan aksi bodoh di dalam kamarnya sendiri.
Mereka benar-benar menggantikan peran keluarga dalam hidupku. Dan kepercayaanku terhadap mereka telah terbangun kuat setelah bertahun-tahun hidup satu atap. Tapi yang masih jadi kelemahanku, aku tak bisa terbuka dengan segala apa yang kurasa. Aku terlalu banyak menyimpan kesakitan sendiri. Bahkan segala cerita begitu rapi tersimpan di dalam perpustakaan hatiku. Dan tak ada satupun yang pernah menyentuhnya.
Kalau salah satu dari mereka ada yang tahu aku terbiasa self harm, apakah mereka akan tetap menganggapku sebagai anak? Dan tetap memanggilku sebagai adik? Aku terlalu takut untuk mengetahui apa yang akan terjadi nanti.

KAMU SEDANG MEMBACA
Stuck
Teen FictionBerawal dari bencana besar yang menggemparkan seluruh penjuru negeri nya. Membawa gadis itu pada kehidupan dengan berbagai ritmenya. Begitu kuat melewati semua itu. Sampai lupa, ada ruang yang jauh di relung hati nya, dan seseorang itu berhasil meny...