Bagian 12

17 4 2
                                    

"Ya, gak papa lah, Ning. Mas mu kan udah besar. Baguslah, Ibu jadi gak khawatir lagi kalau dia gak normal," Ucap Ibu begitu saja.

What? Ibu bela Mas Juna?!

"Tapi kan Bu,"

"Sudahlah, Nak. Kok kamu yang repot, sih? Mas mu juga udah kelas 3 SMA," Dan sekarang Bapak ikut menimpali. Double kill!

Mas Arjuna terlihat melipat kedua tangannya di depan dada, sambil menahan tawa di seberangku. Makan siang kali ini berakhir tak mengasyikkan bagiku.

"Wlee! 1-0," Aku benar-benar ingin mencabut bulu kaki pria itu sekarang juga.

"Kamu gimana kabarnya, Ning? Kata Mas mu, kamu pacaran sama nak Raka, ya?" Pertanyaan polos terlontar begitu saja dari mulut Bapak.

Raut wajah Mas Arjuna yang tadinya senang, sekarang berubah agak gelap, "Nggak, kok, Pah! Mas aja tuh suka ngarang-ngarang. Raka kan sahabat Bening, forever ever ever," Sebenarnya aku jijik sendiri dengan ucapanku.

"Bohong, Pah! Dimana-mana, ya, cowok sama cewek itu gak akan pernah ada yang murni sahabatan! Pasti salah satu nya ada yang punya rasa," Aku bergidik ngeri mendengar penjelasan Mas Arjuna. Ia sudah seperti pakar cinta yang ada di televisi-televisi.

"Sudah, sudah. Wong, mereka udah temenan dari kecil. Ya gak bisa terpisahkan dong," Aku tersenyum lebar mendengar pembelaan Ibu.

Makan siang kali ini berakhir dengan Mas Arjuna yang mencuci piring. Aku berjalan memasuki kamar istanaku, dan mendudukkan diri di kursi balkon kamar.

Udara siang ini cukup sejuk. Tidak ada cahaya matahari menyentak kota kami. Saat ini memang sedang memasuki musim penghujan, jadi hampir dua hari sekali atau bahkan setiap hari turun hujan.

Aku merenung memandangi langit mendung, sembari menurunkan makanan yang baru saja masuk ke lambungku.

Rencananya, setelah ini aku akan beranjak tidur siang. Baru saja aku hendak menangkap capung yang hinggap di jemuran handukku, tiba-tiba aku dikagetkan dengan satu sosok yang mendarat dengan selamat di teras balkonku.

"Aaaaaaaa!" Aku berteriak spontan, dan menutup mata. Kurasakan ada satu tangan membekap mulutku, aku hafal wangi dari tangan ini.

"Sshtttt! Nanti Mas kamu dengar!" Pemilik suara ini begitu pede nya muncul di hadapanku, setelah berhasil merusak moodku semalam.

"Raka!" Aku begitu gemas, sampai menjambak rambut landaknya.

"Eh, eh, sakit!" Sekarang giliran Raka menjambak balik rambutku. Terjadilah adegan jambak-jambakan di balkon kamarku. Untung saja tetangga tidak ada yang bisa melihat, karena tertutupi pohon mangga Bapak yang lebat.

"Aku minta maaf, ih!"

"Maaf, maaf! Minta maaf itu ada caranya, tau. Ngomongnya yang bener, terus kasih hadiah!"

"Iya, iya, deh. Aku minta maaf, tuan putri Bening," Tangan kanannya menyodorkan satu bucket bunga lily. Dua pasang mataku terbuka lebar melihatnya.

"Ya ampun, Raka! Kamu so sweet banget, sih. Hiks, aku jadi terharu," Aku mengambil bucket dari tangan Raka.

"Eh, jangan nangis, dong. Dasar cengeng!" Belum juga tiga detik lalu aku merasa senang, sekarang ia menjatuhkan moodku dalam sekejap.

"Cengeng, cengeng! Ini namanya terharu, tau! Dasar cowok, gak peka," Aku mengusap air mataku yang keluar sebelah.

"Hellaw! Mirror, deh, mbak!" Jari telunjuk Raka menyentil kepalaku.

"Apa, hah?!"

"Eh, nggak. Nggak papa,"

Aku menghembuskan napas kasar. Lalu berjalan memasuki kamarku.

StuckTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang