Bagian 3

17 4 0
                                    

Bacanya pelan-pelan ya, please banget😭🙏🏻

Bab ini benar benar menguras emosiku, aku bahkan seperti masuk dalam imajinasiku. Hiks, ini antara takut, sedih, seram, semua!

Mataku pelan-pelan terbuka, menyesuaikan cahaya lampu yang memaksa masuk ke retinaku. Sepertinya, tadi malam aku begitu kekenyangan, hingga tidurku sangat pulas. Aku mencoba untuk bangun, dan duduk sebentar. Lalu berdoa mengucap syukur, seperti yang di ajarkan Ayah. Terkadang, nikmat yang begitu sering manusia sepelekan adalah masih bisa membuka mata atau terbangun dari tidurnya.

Aku melihat kotak pensil di atas meja belajarku bergetar. Aku masih mengucek mata. Masih setengah sadar.

Lalu, aku merasakan ranjangku bergetar, hei! Apa ini? Apa aku merasakan pusing yang parah hingga semua benda di kamar ku bergetar, seperti berputar-putar?

Aku berusaha membuka pintu kamarku, dan berjalan menuju kamar Ayah dan Bundaku.

Tok tok tok.
"Ayah, Bunda, udah subuh," Ucapku dengan suara masih serak.

Aku heran, mengapa aku begitu sulit untuk berjalan? Berdiri di atas lantai pun rasanya begitu susah?

Sepertinya aku tidak sakit. Apakah ini yang di namakan gempa? Aku tidak pernah mengalami ini semua.

Terdengar suara teriakan bapak-bapak di luar "Gempaaaaa! Keluar semuaaa! Gempaaa!" Suaranya begitu keras, seperti semua tenaga hingga pita suaranya seperti dipaksa.

Deg! Gempa? Aku tidak salah dengar?

Aku langsung menggedor-gedor pintu kamar orangtuaku. Seketika muncullah kedua orangtuaku dengan wajah panik. Sepertinya mereka mendengar teriakan orang-orang di luar sana.

"Gempaaaa! Gempaaaa! Keluarrrr semua!!!!" Kali ini teriakannya lebih rock. Aku panik! Ya Tuhan, selama ini aku hanya mempelajari gempa dari buku. Dan sekarang aku merasakannya?

"Bening, ayo keluar!!!" Ku tatap wajah bundaku benar-benar dengan ekspresi panik campur marah. Nada bicaranya sangat tinggi.

"Ayah! Mau kemana???!!!! Ayo keluar!!!!" Baru kali ini aku mendengar Bunda berbicara nyaring di depan Ayah.

Kulihat Ayah berlari tergesa-gesa menuju tumpukan berkas dokumen-dokumen penting di lemari paling atas. Butuh usaha ekstra untuk menggapainya.

"Ayah!!!! Itu urusan nanti!!! Ini gempa, yah! Nyawa paling utama!!!"
Kulihat Ayah tetap bersikukuh mengambil dokumen-dokumen itu di atas lemari. Wajah Bunda terlihat sangat marah dan frustasi. Tebakanku, sesulit apapun situasinya, Bunda tak akan meninggalkan Ayah sendirian.

Zep!
Baru saja kutengok jam di dinding yang menunjukkan pukul 6 pagi. Tiba-tiba gelap semua. Kami benar-benar panik. Mati lampu!
Kurasakan kedua tangan kanan dan kiriku di genggam erat oleh Ayah dan Bundaku. Kami berlari tergesa-gesa menuju pintu depan.

Pemandangan pertama yang kulihat adalah lautan manusia yang berlari kesana kemari tak tentu arah. Ada yang sambil mengendong anaknya yang masih tertidur pulas, ada yang menggendong neneknya di punggung, bahkan ada yang masih sempat membawa koper di atas bahunya. Ya Tuhan! Gempa ini benar-benar membuatku tak bisa melangkahkan kaki! Bahkan aku tidak bisa melihat dengan fokus!

Bahkan tanpa sadar aku sudah masuk dalam kerumunan manusia. Semua berdesak-desakan, sesekali kurasakan bahuku tersenggol, bahkan ada yang menginjak kaki ku dengan sandal. Aku pun berlari, tak tahu ke arah mana. Karena tinggi nya manusia manusia ini menghalangi pandanganku. Aku hanya sebatas lengan orang dewasa.

Tunggu....
Kemana tangan yang sejak awal ku genggam?
Astaga! Kemana Ayah dan Bundaku?
Kami benar benar terpisah oleh ribuan manusia yang di landa panik.

Tanah yang kuinjak perlahan menampilkan corak. Retakan yang begitu panjang. Hatiku kocar kacir. Guncangan ini bahkan membuatku lupa akan ketakutanku dengan keberadaan orangtua ku yang sejak tadi entah sudah dimana. Semua orang terlihat sibuk menyelamatkan dirinya masing-masing.

Aku harus berlari, entah kemana arahnya! Hati kecilku mengatakan berlarilah sejauh mungkin, semua tenagamu, dan jangan ke arah pantai!

Tiba-tiba aku mendengar suara sirine. Bunyi yang terus berulang-ulang membuatku semakin pusing.

"Air naik! Air naik!"

Hah?!
Air naik?
Maksudnya?

Kudengar suara ombak begitu keras. Lantas ku balikkan kepalaku ke belakang menuju arah suara.

Astaga? Itu ombak!
Aku melihat nya seperti monster sedang tersenyum ke arahku. Halusinasiku mulai menjalar kemana-mana. Bahkan aku yang berada di belakang tiga rumah yang berhadapan dengan pantai bisa melihat tingginya ombak itu. Ombak itu bahkan lebih tinggi dari pohon kelapa!

Ya Tuhan! Apa ini!
Aku sudah tak bisa menahan bendungan air mataku.
"Tsunamiiiiii! Tsunamiiii!" Aku masih bisa mengenali. Itu suara Paman Eri! Bahkan ia hanya menggunakan kutang dan celana jeans sekarang.

Tunggu....
Tsunami? Apa itu?

Aku mengabaikan semua pertanyaan di kepalaku. Yang aku lakukan hanyalah lari, lari, dan lari!
Kupaksakan kaki kecilku berlari sekuat mungkin, seakan takut di kejar monster di belakangku.

Semua orang berteriak tak karuan. Suara klakson mobil bersahut-sahutan, parkiran motor Pak Edi bahkan kulihat ambruk semua. Semua panik! Aku benar-benar luar biasa pasrah. Hatiku tak hentinya mengucapkan dzikir, doa, apapun yang kuhafal!
Bahkan di saat seperti ini aku baru mengingat Tuhan.

Zrasssss!
Kurasakan kakiku sudah tidak menapak di tanah lagi. Tubuhku seolah melayang-layang. Aku mencoba mencari sesuatu yang bisa aku pegang, tapi tidak ada! Ku gerakkan semua anggota tubuh ku. Aku baru tersadar, seluruh badanku di dalam air. Aku benar-benar berusaha menggerakkan kedua tanganku ke atas, mencari permukaan. Tapi tak ada yang bisa ku gapai. Aku benar-benar panik. Napasku sudah tidak tahan lagi.

Aku membuka mataku. Aku benar-benar seperti dalam lautan. Tapi kali ini beda. Aku tak bisa melihat apa-apa. Air berwarna hitam, bahkan aku bisa merasakan air yang ku telan rasanya tidak enak sekali. Amis! Ya Tuhan apakah air ini bercampur darah semua?

Dalam kondisi yang gelap gulita, aku sudah tidak bisa berpikir apa apa. Aku benar benar pasrah. Hidung dan mulut yang sedari tadi bermenit-menit aku tutup, akhirnya aku buka juga. Aku benar-benar sudah tidak tahan. Tubuhku terasa sudah lemas, tak ada daya. Kubiarkan semua air masuk ke mulut, hidung, dan telinga. Tubuhku benar-benar tak bertenaga. Bayangkan saja bocah kelas 3 SD berenang dalam lautan yang tak ada permukaan kudapat. Aku merasa tubuhku sudah tinggal melayang, mengikuti tekanan, terbawa arus.

Apakah ini akhir dari hidupku? Bahkan aku belum shalat subuh tadi?!

Kurasakan seperti ada tangan menarik kakiku di dalam air. Rambutku bahkan ada yang menarik-narik. Bahkan aku merasa sudah tidak menggunakan busana. Aku benar-benar pasrah. Aku seperti menikmati jatuh di dalam air dalam waktu cukup lama. Perutku seperti ada kaki yang menendang-nendangnya. Ya Tuhan, bahkan di situasi kelelep seperti ini, manusia masih mementingkan ego nya. Aku tidak menyalahkan, kau tidak merasakan apa yang kami rasakan.

Aku benar benar lelah. Tubuhku kurasakan pelan pelan seperti ada arus yang membawaku terus ke atas. Entah sudah berapa banyak air yang ku telan.

Dan seketika semua gelap. Aku tidak sadarkan diri.

Kurang greget? Maafin ya, aku masih pertama kali.

Tapi guys, gimana?😭

Sedikit cerita, aku terinspirasi dari pengalaman teman aku yang juga termasuk korban dari tsunami aceh 2004. Tapi di cerita ini aku hanya terinspirasi scene-scene nya. Aku gak pakai nama aceh, ataupun indonesia. Semua nya pakai imajinasi aku sendiri nama nama tempat nya.

Aku gak sepenuhnya menyamakan dengan ceritanya. Karena teman ku ini rumah nya agak jauh dari pantai saat itu. Jadi Alhamdulillah dia sekeluarga selamat, dan saat itu mengungsi ke gunung, tempat pesantren kakeknya.

Aku berharap banget cerita ini tidak terjadi, terutama buat aku dan siapapun di dunia ini.

Semoga Tuhan selalu melindungi kita dan keluarga.

Kalau kalian suka sama cerita ini, please vote ya teman teman🙏🏻
Bahkan satu vote saja sudah membuatku semangat, terima kasih yang sudah mengikuti hingga bab ini!

StuckTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang