-Part 39-

128 36 6
                                    

He Is Caligynephobia

##

Lokasi tujuan Badai adalah lantai enam. Tempat praktek Dr. Ranu berada di sebuah gedung sembilan lantai yang cukup besar. Kata Pak Nugra, Dr. Ranu menyewa lantai enam di gedung itu sudah cukup lama. Badai tidak begitu paham dengan jalan pikiran para dokter pebisnis, menurutnya, Dr. Ranu akan menjadi sangat sibuk jika ia bekerja di dua tempat sekaligus, lagipula, ia sudah punya pekerjaan tetap dan jabatan yang memadai di sebuah rumah sakit swasta kelas atas.

Remaja itu pada akhirnya mengembuskan napas dengan berat, hari ini menjadi salah satu hari terpanjang dalam hidupnya. Badai merasa kepalanya semakin berat karena terlampau banyak memori yang mendadak mencoba unjuk diri di dalam pikiran.

Denting pintu lift yang terbuka membuat Badai mendongak, ia telah tiba di lantai enam. Laki-laki itu berjalan dengan tenang seraya menyumpal telinganya dengan earpods, hanya bosan, padahal ini adalah kunjungan pertamanya ke tempat praktek Dr. Ranu.

Membuka pintu, hal pertama yang Badai lihat adalah sebuah ruang dengan dua sofa panjang dan meja, lalu di sudut kiri terdapat meja seorang resepsionis yang kini tersenyum menyambutnya.

Seketika terlintas di benak Badai, bahwa sepertinya memang hanyalah orang-orang tertentu saja yang bisa konsultasi langsung di tempat praktek pribadi Dr. Ranu.

Badai masuk dengan canggung, melepas earpods-nya dan segera berada di depan meja sang wanita berpakaian formal dengan sanggul anggun, Badai hanya bisa menatap meja ragu-ragu.

Wanita itu melirik jam tangan kecil yang melingkar di tangan kanannya, lalu berujar, "Badai Tenggara?"

Mendengar nada tanya dari sang wanita, Badai sontak mengangguk, dari ujung matanya, dia tahu bahwa wanita itu kini tengah menatapnya dengan intens.

Namun, suara ramahnya kembali mengalun. "Ah, maaf sebelumnya, boleh saya lihat KTP?"

Sejenak Badai terdiam, tentu saja tidak bisa. "Saya ... belum punya." Pastilah karena celana SMA-nya. Mungkin sang resepsionis mengharapkan ada seorang wali yang menemani, Badai masih dianggap anak di bawah umur, menemui psikiater tanpa wali adalah sebuah masalah.

"Pelajar juga, ya?" Dia tidak merespons, ucapan wanita itu seolah menyatakan bahwa bukan hanya dirinya saja yang merupakan seorang pelajar tanpa wali di dalam jadwal Dr. Ranu. "Silakan duduk dulu, Dokter selesai sepuluh menit lagi."

Yang Badai lakukan selama menunggu hanyalah melirik-lirik isi ruangan. Dan sialnya tidak ada yang menarik. Tak berapa lama, dering telepon di meja resepsionis membuatnya menoleh, selanjutnya Badai tahu bahwa sekarang sesinya.

Sejenak, Badai masih duduk, menunggu pasien sebelumnya keluar dari sebuah pintu kaca tebal di sana. Tapi tak kunjung hal itu terjadi sampai sang resepsionis menegur namanya.

"Ayo, saya antar ke ruang Dokter," katanya sambil melangkah. Badai hanya menelan kebingungannya hingga ia tiba di ruang Dr. Ranu, tidak serta-merta berada di balik pintu kaca tebal itu, tapi satu pintu lagi setelahnya.

Dari ujung pintu tempat Badai berdiri, ia bisa mendengar suara air yang masuk ke dalam gelas Dr. Ranu, betapa pun lembut benda yang mengeluarkan itu beroperasi.

"Mau kopi?" tawarnya yang dijawab dengan gelengan singkat.

Ruangan Dr. Ranu nyaman dan hangat, benar-benar tempat yang cocok untuk melepas penat dan bersantai. Sembari menyesap kopinya yang masih mengepulkan asap, sang dokter menuntun Badai untuk duduk di sebuah kursi malas yang bagian kirinya menyuguhkan pemandangan jalan raya dan kelap-kelip lampu. Jendela kaca seukuran tiga kali pintu itu gordennya terbuka setengah, oleh sebab itu jarak pandangnya terbatas.

He Is CaligynephobiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang