-Part 43-

122 31 11
                                    

He Is Caligynephobia

##

Sinar matahari masih bersembunyi di balik gedung-gedung tinggi kota, di balik ranting-ranting pohon, dan di balik atap-atap rumah. Yang artinya, masih cukup gelap untuk mulai beraktivitas.

Tapi laki-laki dalam balutan seragam sekolah ditimpa hoodie hitam, masker, dan juga helm, kini terlihat melangkah cepat ke luar rumah. Dia memanaskan mesin motor sejenak sebelum menarik pedal gas dan melaju dengan pasti menyusuri jalanan pagi yang masih cukup sepi.

Kicauan burung hanya terdengar sesekali, lebih banyak suara aktivitas makhluk nonfisik yang menyambangi penglihatannya pagi ini. Badai berdecak dalam hati, menyaksikan mereka pagi-pagi begini membuat seluruh mood baik yang berusaha dikumpulkannya menjadi hancur lebur. Sayang sekali lagi-lagi hari ini dimulai dengan suasana yang buruk.

Bola mata legam Badai berkilauan terpantul cahaya lampu jalan yang masih menyala, udara sejuk dan basah membuat genggaman tangannya pada setang motor menjadi lebih kuat. Badai menyusuri jalan menuju sekolahnya dengan malas, rute yang membosankan.

Tak berapa lama dia berbelok menempuh jalan lebar guna mencapai gerbang Smannus, satpam sekolah tengah menyeduh kopi ketika Badai lewat sembari membunyikan klakson tanda menyapa.

"Masih pagi buta, Bad! Rajin bener lo!" teriak sang satpam yang masih bisa Badai dengar dengan jelas meski dia nyaris mencapai parkiran.

Belum terlihat satupun siswa berseliweran ketika Badai memasuki koridor utama, memang inilah yang Badai harapkan, lagi pula dia sedang tidak ingin berada di keramaian.

Langkah kaki Badai terdengar pasti dan buru-buru, dia tidak menuju kelas melainkan melewati semuanya hanya untuk mencapai lokasi gedung lama. Satu per satu anak tangga dia tapaki, suara sepatu yang beradu dengan pijakannya menggema memenuhi area kosong itu.

Yang pertama kali Badai lakukan ketika tiba di rooftop gedung lama adalah melempar tas, lalu berbaring terlentang dengan kedua tangan direntangkan. Dia hirup udara dengan rakus, seolah pasokan oksigen di dalam paru-parunya benar-benar menipis.

Badai merasa kosong dan asing, dia hanya mendapati warna langit yang sendu pagi ini. Setelah kemarin, dia menjadi lupa rasanya di kelilingi suasana positif dan semangat. Itulah alasan mengapa dia berada di sini pagi-pagi sekali. Badai ingin menepi sejenak.

Matanya tak terpejam, Badai menyaksikan warna-warna syafak mentari pagi menjilati awan yang tadinya kelam. Dia menyaksikan perubahan itu dalam diam.

Semakin terang, kelopak matanya memicing sedikit, tapi Badai tak lagi ingin menetap, suara nyaring bel pertanda pelajaran pertama akan dimulai telah meraung sejak beberapa saat tadi.

Bangkit dari acara berbaringnya, jantung Badai mencelos saat menangkap keberadaan makhluk tak kasat mata yang sialnya tampan, Evans duduk di pembatas rooftop dengan senyum miring yang tipis.

"Lagi galau?" tanya Evans, nadanya terdengar mengejek. Tapi Badai tidak menggubris, setelah meraih tasnya, laki-laki itu mulai melangkah lebar untuk keluar dari sana.

"Hati-hati, Bad. Pak Salman udah mulai keliling!" peringat Evans sebelum menghilang. Bahkan nama Pak Salman tak lagi terdengar sakral di telinga Badai hari ini. Dia berjalan tenang dengan raut wajah kusut.

Terdengar suara teriakan beberapa siswa yang mendapat pelajaran olah raga di jam pertama, lapangan dikuasai oleh mereka. Badai tak kenal satu pun. Sementara itu, setiap kelas sudah larut dalam kegiatan belajar masing-masing. Mungkin hanya tersisa Badai yang masih santai berjalan dengan tas di punggungnya.

He Is CaligynephobiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang