PROLOG

612 84 63
                                    

He Is Caligynephobia

##

Tidak heran mengapa sore ini jalanan begitu padat, anak-anak yang biasa menjajakan koran di lampu merah pun sama sekali tak terlihat. Suara klakson terus menggema pertanda bahwa setiap orang sedang terburu-buru sekarang. Tapi percuma, mobil-mobil itu hanya bergeser beberapa kaki saja.

Kali ini sore terlihat suram, langit menangis entah karena apa. Hujan, sejak tiga puluh menit yang lalu membuat mereka terjebak macet.

Keheningan menyelimuti perjalanan, sosok remaja laki-laki yang duduk di jok belakang mobil sedari tadi hanya bungkam, mata kelamnya menatap intens ke arah gedung-gedung pencakar langit di luar sana yang tengah berhamburan diserang hujan. Ia menyentuh jendela kaca mobil yang mulai berembun, menuliskan deretan huruf membentuk namanya di sana.

Hujan masih enggan meninggalkan bumi bahkan ketika mereka sudah mulai aman dari kemacetan.

Lelaki itu melirik jam tangannya diam-diam, butuh tiga jam untuk sampai ke jalanan lenggang ini. Memasuki sebuah kompleks perumahan biasa.

Dan, mereka tiba.

"Turun," perintah seorang wanita separuh abad yang sejauh itu terlihat terlalu bersemangat saat mengemudi.

Lelaki itu melirik sekilas, di luar masih hujan, bahkan lebih deras dari semula dan kali ini petir pun ikut hadir.

Dan ia hanya diam menuruti keinginan sang wanita tua, ia menginjakkan kakinya di jalanan aspal yang mulai digenangi air, tidak peduli sepatunya basah. Tanpa perlu menunggu perintah selanjutnya ia langsung menuju ke belakang mobil, membuka bagasi dan menurunkan satu koper di sana.

"38 nomor rumahnya. Cari saja dan berikan surat ini padanya." Wanita tua itu memberikan secarik amplop kuning. Ia benar-benar sudah basah kuyup, takut-takut ia lirik sedikit ke arah wanita muda yang duduk di jok samping kemudi, memalingkan wajahnya pertanda ia tak peduli.

Remaja jangkung itu masih diam, bibirnya ia katup rapat-rapat.

Tak berapa lama, mobil itu segera melaju meninggalkannya dalam keheningan jalanan sore yang begitu suram, mendung di atas sana masih tak berniat beranjak, bahkan ia tak peduli seluruh tubuhnya basah kuyup dan matanya perih karena air hujan tanpa peneduh seolah berseru riang menyerangnya.

Persetan dengan sesak di dada yang mulai mendominasi relung hatinya, ia menoleh ke arah pagar rumah di belakangnya. 36, itu bukan tujuannya.

Nenek sihir itu benar-benar tidak sudi mengantarnya sampai tujuan. Ia seret kopernya tanpa kesusahan, menuju satu pagar rumah yang catnya mulai mengelupas dan berkarat. Ia yakin itu nomor 38.

Benar saja, tanpa menunggu lebih lama laki-laki itu masuk, berjalan mengikut jalan setapak yang ada, di sampingnya rerumputan terlihat sudah tinggi.

Ia tiba di teras rumah beralas marmer sewarna kelabu yang menambah kesan suram rumah bercat putih itu.

Rumahnya sederhana, dominasi gaya Belanda jaman dulu jika di lihat dari luar. Jendela bertirai putih tersusun rapi hingga ke samping. Jangan lupakan tanaman gantung yang seluruhnya sudah mati.

Tanpa niat mengetuk pintu, ia lebih memilih duduk di kursi teras mengingat kembali kejadian menyesakkan itu. Ia tertawa miris.

Namun tiba-tiba sesuatu menggangu penglihatannya. Laki-laki itu buru-buru mengeluarkan ponselnya dan pura-pura fokus memainkan game. Ia mengumpat dalam hati karena ulah matanya yang begitu jeli. Sungguh menyusahkan.

Hampir satu jam yang lalu ia masih berkutik dengan ponselnya, hingga suara siulan dan pintu terbuka membuatnya mengalihkan pandangan.

Terlihat seorang laki-laki dewasa dengan raut heran yang kentara. Ia berparas manly dilihat dari jambang tipis yang membingkai wajahnya, manik mata cokelat muda miliknya memancarkan kehangatan, cekung matanya yang lumayan dalam menandakan bahwa hidupnya tak sedamai senyum yang jarang hilang dari bibirnya.

"Nyari siapa, Dek?" tanyanya ramah.

Yang diajak bicara hanya diam memperhatikan lebih jauh sosok di depannya itu.

"Halo, nyari siapa, ya?" Ia bahkan mengulangi pertanyaannya.

"Sagara Adipati," jawabnya singkat.

"Gue? Kenapa nyari gue? Kita saling kenal? Kayaknya engga deh," katanya, ia benar-benar keheranan sekarang ditambah saat ia melirik koper di belakang remaja itu. Anak itu mau mengungsi atau bagaimana, itu yang terlintas di benaknya.

Dan deretan kata yang meluncur bebas dari bibir remaja itu membuatnya terdiam tak percaya.

"Gue anak lo."

##

A/N

Aloha! How are you guys? Semoga semua dalam keadaan sehat dan bahagia. Sudah cukup lama dari terakhir kali gue cuap-cuap gaje di work kayak gini. Well, karena juga udah lama banget gue ga pernah up story kan ya.

Hampir setahun gue break sejenak dari wattpad, dan sekarang gue back with the new story yang bakalan gue rampungin dengan konsisten (Insha Allah).

Kayla Majnun ga di unpub but well, on hold cukup lama mungkin :v

So, last gue ucapin jutaan terima kasih buat temen-temen yang setiap harinya nyasar baca cerita gue. I love you sooooooo bad!

Cerita ini gue garap dengan tulus, semoga pembaca juga enjoy. And, if you visit this one, don't forget to tap on the star, comment, and share.

See you on tuesday:)

Aceh | 2020, 7 Mei.

He Is CaligynephobiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang