-Part 25-

128 36 14
                                    

He Is Caligynephobia

##

Langkah Badai terasa cukup berat kala memasuki huniannya. Ia menghela napas kasar mendapati rumah dalam keadaan sunyi sore itu. Gara memang sempat mengirim pesan singkat bahwa ia akan pulang larut karena urusan pekerjaan. Sungguh Badai tak terganggu dengan hal itu, setidaknya ia terhindar dari mulut cerewet Gara untuk beberapa waktu.

Cuaca cukup cerah, langit bersih tanpa awan yang berarak seperti biasanya. Terlihat betul bahwa alam sedang riang hari itu. Badai membuka jendela kamarnya lebar-lebar. Setelah berganti pakaian, ia memilih duduk di atas kusen jendela bak remaja galau yang barusan putus cinta. Menyandarkan kepala sambil menatap langit yang tingginya tak terbatas di atas sana.

Terkadang Badai berpikir, mengapa manusia tidak bisa terbang. Padahal jika bisa, maka Wright bersaudara tak perlu repot-repot menciptakan alat untuk terbang, manusia tak perlu membayar mahal jika ingin ke negara bagian, bahkan pemerintah tak harus menghabiskan banyak dana untuk membangun bandara dan membeli pesawat.

Oke, rasanya pikiran Badai benar-benar tidak berguna.

Tersadar, ia kemudian bangkit dari lamunannya daripada semakin tenggelam dalam fantasi kekanakan yang anehnya semakin sering mampir ke otaknya akhir-akhir itu. Sepertinya Badai butuh liburan.

Mengingat liburan masih cukup lama, Badai memilih melakukan kegiatan refreshing jangka pendek sekarang juga. Ia pikir, jalan-jalan sore di sekitar kompleks rasanya tak buruk untuk mengusir bosan.

Akhirnya Badai menghirup udara luar. Kala sore, di depan rumahnya pasti dipenuhi dengan suara anak-anak kecil yang sedang seru-serunya bermain bola. Lapangan kecil di depan rumahnya memang jarang sekali sepi sampai menjelang maghrib. Badai tersenyum samar melihat keasyikan anak-anak kompleks. Andai masa kecilnya seseru itu. Sayang, Badai tak pernah tahu bagaimana rasanya masa kecil yang menyenangkan.

Beralih dari sana, lelaki dalam balutan kaos Barcelona dan celana Jogger hitam berjalan santai sambil sesekali memperhatikan sekitarnya. Earpods wireless entah sejak kapan sudah bersarang di kedua telinganya.

Badai berjalan tak tentu arah, niatnya hanya ingin putar-putar saja. Ia lupa bahwa penampilan wajahnya cukup menarik perhatian. Pasalnya lebam yang tadi pagi tercipta masih tercetak jelas di sana. Ia akhirnya memilih berbelok dan menyusuri lorong kecil yang terlihat cukup sepi dari jalan sebelumnya.

Semakin masuk ke dalam ternyata cukup ramai orang-orang yang sedang bersepeda di sana atau sekedar berlari santai sebagaimana joging sore. Cukup lama tinggal di sana, Badai baru tahu bahwa ada taman dan lapangan besar yang difungsikan untuk orang-orang berolah raga atau sekedar duduk-duduk santai.

Ah, betapa damainya. Badai sungguh merasa adalah orang asing paling kudet di sana.

Cukup lama berjalan, mata Badai tak sengaja menangkap objek yang menarik perhatiannya. Ia sedikit mendekat, berdiri di pinggir sebuah lapangan yang lebih kecil. Alih-alih rumput, lantainya terbuat dari semen dan dikelilingi dengan bangku-bangku beton yang terlihat sangat kontras warnanya daripada lokasi lainnya di sana. Bau cat yang masih sangat baru tercium indranya, sepertinya lapangan kecil itu belum lama dibangun.

Namun, bukan itu yang menjadi daya tariknya. Tapi seseorang yang sedang bermain lincah di dalamnya.

Badai kenal gadis itu, masih lengkap dengan setelan seragam sekolah dan jangan lupakan bola orange yang tak pernah absen dari tangannya. Siapa lagi jika bukan Seroja.

Laki-laki itu tanpa sadar terus memperhatikan Seroja, matanya memang memandang lurus ke arah lapangan meski siapa sangka bahwa isi pikirannya malah melayang ke kejadian memalukan pagi tadi saat bola sialan itu mendarat di wajahnya. Tatapan Badai terlihat tajam seolah melaser bola yang sedang memantul ria, di mata Badai bola itu terlihat sedang mengejeknya. Ia merasa harus melayangkan bendera permusuhan dengan bola polos tak berdosa itu.

He Is CaligynephobiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang