Pada akhirnya, gue emang terlalu lemah buat bilang 'nggak' sama orang lain. Apapun itu, gue selalu gak enakan buat nolak. Dan ujungnya, orang jadi seenaknya sama gue.
Jevan yang tadi dateng tiba-tiba terus ngajakin gue main uno akhirnya gue iya-in juga. Aneh sih, gue gak dalam mood yang bagus buat main, tapi ngeliat senyum petakilan Jevan rasanya gak enak juga.
"Jev, lo ngapain sih?" kata gue aneh waktu liat Jevan ngeluarin box kartu bertuliskan Uno dengan beberapa botol minuman.
"Lo kan tadi sepakat kita main uno? Emang ngapain lagi? Berenang?" jawab Jevan dengan wajah sengak.
Bikin gue gedeg setengah mati dan akhirnya ngebalas, "Gak lucu sumpah."
"Yeu, siapa juga yang lagi ngelawak anying."
Tuhkan, tuhkan. Nyebelin banget emang. Gue curiga dulu waktu lahiran Jevan bukannya di-adzanin tapi malah dibacotin. Anjir, gedeg banget gue liat itu bocah.
"Sini, gue aja yang kocok. Tangan lo gak menghasilkan kartu keberuntungan entar." kata gue lagi, dan miilih buat masang muka lempeng andalan.
"Apaan neh, kartunya jelek semua." ejek Jevan dengan wajah cemberut.
"Sama, kan?"
"Apanya?"
"Sama, kaya muka lo." sahut gue kalem sambil ngulum senyum karena kartu gue cakep semua.
Jevan langsung misuh-misuh di tempatnya sendiri.
Saat kartu yang keluar sesuai dengan kartu yang gue milikin, langsung aja stok kartu gue menipis yang artinya gue semakin dekat buat menang. Tapi karena itu juga Jevan malah makin mendumel.
"Eh, eh, curang lo ya! Kartunya kok bagus semua?" tuduh Jevan tak terima.
Ya gimana, kartunya jelek semua sih. Atau emang tangan dia doang yang terlalu banyak dosa makanya gak nemu kartu yang bagus.
"Curang apanya sih anjir, lo sendiri juga liat gue gak ngintip kartunya." kata gue terus ngelanjutin lagi, "Ini tuh karena gue anak baik, tidak sombong dan rajin menabung. Makanya tangan gue membawa keberkahan."
Kali ini Jevan malah makin mengumpat lebih keras.
Gue makin gak bisa nahan senyum waktu kartu gue sisa dua dan entah ini disebut hari keberuntungan gue atau gimana, kartu gue selalu pas dengan yang diminta.
"Uno!" teriak gue senang. Tersisa satu kartu dan tentu saja kali ini gue menang apapun kartu yang bakal Jevan keluarin karena kartu terakhir punya gue menunjukkan kartu berwarna hitam dengan gambar empat warna kartu berbeda serta bertuliskan plus empat. Haha, mujur banget gue hari ini.
"Apaan nih! Gak bisa, gak bisa! Masa gue kalah sama cecunguk macam elo!" sahut Jevan tak terima.
Gue sih cuma cengengesan aja liatnya. Maaf ya, Jev. Kayaknya lo harus jadi tumbal hari ini.
Kartu yang dikeluarin Jevan berwarna merah dengan angka 6. Gue senyum lebar lalu ngasih kartu terakhir gue. "Habis! Mampus gue menang hahaha!"
Jevan langsung teriak frustasi narik rambutnya. Sama sekali tidak ingin menerima kenyataan. "Sialan ya lo, Rhe. Pake pelet apa lo?"
"Dih, dih, apaan? Lo kali yang gak bisa nerima kenyataan."
"Dahlah, sini gelud, ayo sini gelud."
Dengar jawaban kek gitu, bikin gue langsung natap Jevan bengis. Gue maju terus narik-narik bajunya. "Ihhh berani ya looo?!"
Kita berdua saling jambak-jambakan, pukul-pukulan dengan tenaga seolah berantem beneran. Tapi bukannya marah, kita berdua malah ketawa-ketiwi kaya orang gila.
Sampe acara berantem itu berhenti karena rambut gue yang hampir kaya Singa dan rontok kemana-mana serta dua kancing baju teratas Jevan yang lepas.
Kita berdua terengah, saling natap lalu ngakak kenceng.
"Hahaha."
"Anjir kocak bat muka lo, Rhe!"
"Sialan," sahut gue masih ketawa.
Gatau kenapa rasanya lega aja gitu. Sesaat gue lupa sama apa yang bikin gue sedih.
"Kalian?!" []
KAMU SEDANG MEMBACA
Friend Shit | on going
Teen FictionSemua orang mengenal Rhea Anggita sebagai cewek biasa yang selalu ditempelin si cowok populer paling diminati satu sekolah bernama Alan Gevanno. Walau tidak jarang sebenarnya kehadiran Rhea tidak dianggap oleh sekitarnya. Sayang, sejak kedatangan an...