“Duh elah, berat banget ini tas,” keluh Jeremy ketika mengangkat salah satu tasnya.
“Salah sendiri bawa barang banyak-banyak,” kataku sambil menggeleng-geleng. “Buru, gua sama Ucel mau antar Bang Tian.”
“Sabar kenapa,” kata Jeremy setengah mengerang. Susah payah dia berusaha mengenakan tasnya dan menghela napas lega ketika berhasil melakukannya. “Akhirnya.”
“Dik, Dik, buat apa sih lu taruh semua bawaan lu di situ?” kata Lousel dari jok pengemudi.
“Ini namanya praktis, Mas,” kata Jeremy. “Oke, gua cabut, ya.” Lalu dia menutup pintu bagasi dan berjalan menjauh dari mobil.
“Hati-hati, Jer.”
“See you besok, Dik.” Aku melambaikan tangan.
Jeremy berbalik dan melambaikan tangan padaku, lalu lanjut berjalan. Aku melangkah menuju pintu di samping sisi pengemudi yang terbuka dan memasukinya.
“Bang Tian masih pulas?” tanyaku sambil menutup pintu.
“Lihat aja sendiri,” kata Lousel sambil menuding kaca spion tengah.
Aku menatapnya dan meringis seketika. Posisi tidur Tian tidak terlihat nyaman dengan kakinya menapak lantai mobil dan badannya dalam posisi rebah miring.
“Yang bentar lagi mau lulus,” gumamku. “Jalan, Cel.”
Lousel menyalakan mesin mobil dan menjalankannya keluar dari area parkir seminari menengah, tempat Jeremy mengenyam pendidikan.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Ruzuya's: Merangkak Menuju Cahaya
General Fiction*seri 1: Karin's POV* ⚠️TRIGGER WARNING!!!⚠️ Suicide (bunuh diri), blood (darah), slight sexual harassment (sedikit pelecehan seksual) Harmonis, kompak, seperti amplop dan perangkonya, sibling goals. Kata-kata itu yang mungkin terlontar dari mulut-m...