Sembilan: Jeremy Berubah

3 0 0
                                    

"Gua punya ide baru lagi," kata Tian lewat video call.

"Kata orang yang nyuruh gua, Arin, sama Jeremy buat fokus sama sekolah dulu," kata Lousel.

"Kan gua cuma bilang ide, Cel," kata Tian.

"Tapi lu bikin gua pengen bikin lagu lagi."

"Dik Arin, kontrol Ucel, ya," kata Tian padaku.

"Iya, Bang, santai," kataku setelah menggigit siomay. "Apa ide lu, Bang?"

"Baru konsep aja, sih," kata Tian. "Jadi kayak orang-orang yang struggle buat mencapai tujuannya. Kita tulis aja gimana pengalaman mereka. Apa aja yang dihadapin, rintangannya gimana, dan sebagainya." Tangan Tian bergerak-gerak seiring dia berbicara.

"Bagus juga ide lu, tapi mau tanya siapa coba?" kata Lousel.

"Siapa gitu," kata Tian. "Ucel kan punya banyak teman tuh."

"Itu bukan teman-teman gua, Bang. Cuma penggemar," kata Lousel. "Tapi jangan suruh gua nanyain teman-teman beneran gua. Malas."

"Udah tau reaksi lu bakal kayak gitu," kata Tian. "Mungkin Arin?"

"Lu tau teman gua nggak banyak," kataku. "Gua juga malas nanyain teman-teman gua sekarang ini. Mungkin Jeremy bisa bantu."

"Oke, berarti teman-teman Jemmy," kata Tian. "Bingung gua. Kalian berdua punya teman tapi kok malah malas nanya-nanyain mereka?"

"Lu tau karakter teman-teman gua sama Ucel gimana," kataku dengan nada kering. "Kalaupun gua nggak dipaksa Ucel sama Jeremy buat menjauh dulu sementara dari mereka nggak akan gua sama Ucel sekarang."

"Oh? Masa? Akhirnya." Wajah Tian berseri-seri.

"Malah senang," kataku.

"Jujur, Dik, gua udah gondok sama teman-teman lu semenjak pertama kali dengar cerita lu," kata Tian. Lalu dia menatap ke arah di belakangnya. "Eh, dosen gua udah datang. Cabut, ya."

"Oke, Bang, see you nanti di rumah," kata Lousel, lalu panggilan diputus. "Tuh kan, Bang Tian udah komen, Dik." Dia menatapku.

"Iya, Cel," kataku. "Lu udahan belum makannya? Gua mau balik."

"Udah," kata Lousel sambil mendorong mangkuk setengah kosongnya.

"Belum habis itu! Habisin dulu, ah!"

"Nggak enak makan gua, Dik."

"Nggak baik kali buang-buang makanan gitu!"

"Lu aja makan kalau gitu."

"Gua kenyang, Cel. Lu belum makan sama sekali dari tadi pagi, kan? Kambuh aja lambung lu."

"Kayak gua peduli aja."

"Gua yang peduli, tolol." Aku memukul kepala Lousel pelan. "Gece ah, habisin makanan lu!"

Akhirnya Lousel menghabiskan mie ayamnya dengan enggan. Lima belas menit kemudian, kami melangkah kembali ke kelas masing-masing.

"Tumben lu sama Lou terus," kata Michelle sesampainya aku di tempat dudukku.

"Iya," kataku, tak mau menjelaskan alasannya.

"Lu lagi ada masalah sama teman-teman lu?"

"Nggak."

"Terus?"

"Ya nggak papa. Gua udah makin jarang ketemu Ucel akhir-akhir ini. Satu-satunya waktu gua bisa bareng dia ya di sekolah."

Michelle ber-oh.

Ruzuya's: Merangkak Menuju CahayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang