Apel pagi adalah saat yang paling tidak kutunggu. Setidaknya sebelum Jeremy dan teman-temannya dari seminari hadir sebagai bagian dari Kesatuan Bakti.
Matahari yang mungkin tidak terlalu menyengat bagi sebagian orang tetapi cukup menyengat untukku mulai tampak pada jam-jam ini. Beruntung badanku cukup tinggi, jadi biasanya aku berdiri di belakang barisan. Tetapi jika bayang-bayang pohon tidak terlalu besar, sinarnya akan sampai di tempatku. Beruntung tingkah teman-teman Jeremy berhasil mengalihkan perhatianku, terutama satu anak yang sudah melirikku semenjak awal tahun pembelajaran.
"Tuh kan ngelirik-lirik lagi ke arah seminari," kata Mirina sambil menyenggolku.
"Gua cuma mau lihat adik gua," dustaku sambil tetap memandang barisan anak-anak seminari. "Mana lagi dia, nggak muncul-muncul."
"Jangan terlalu protektif lu jadi kakak," kata Mirina lagi. "Jeremy ngambek nanti."
"Santai, dia nggak akan," kataku. "Dahlah, nggak ketemu juga bocahnya." Aku kembali menatap depan.
"Ngawasin adik lu lagi, Rin?" tanya Denia yang berdiri di depanku. "Demen banget ya lu."
"Gua bukannya mau jadi kakak yang protektif ya kalian," kataku. "Jeremy masalahnya udah janji mau balikin buku gua yang waktu itu dia pinjam. Gua butuh buat bahan gua nanti ujian sekolah." Aku tak berbohong. Dia memang membawa salah satu buku catatan lamaku ke seminari dan berjanji akan mengembalikannya hari ini.
"Elah, kan masih lama," kata Mirina. "Jangan ambis dulu kenapa."
"Bukannya ambis gua. Gua nggak ngerti sama sekali." Aku meringis.
"Kan ada Tasya yang nanti bisa bantuin lu." Denia menyenggol anak yang berdiri di depannya. "Ya nggak, Sya?"
"Apaan lagi gua dipanggil-panggil?" kata Tasya setengah gusar sambil menengok ke belakang.
"Nggak, nanti tolong bantuin Karin kalau dia nggak bisa," kata Denia. "Kerjasama gitu."
"Ogah," kata Tasya, lalu kembali menatap depan.
"Tuh, Tasya aja udah nggak suka," kataku, walaupun aku mengetahui alasan sebenarnya dia tak ingin mengajakku kerjasama. Sudah sejak awal aku berteman dengan ketiga anak ini gelagatnya selalu tak enak di dekatku. Mungkin hanya aku yang terlalu sensitif karena Mirina dan Denia tidak merasa aneh sama sekali.
"Eh Karin, apa kabar abang lu?" tanya Denia.
"Ya kayak biasa, nggak gimana-gimana," jawabku, berusaha sekuat tenaga untuk tidak menghembuskan napas dan memutar bola mata. Kadang aku berpikir kalau mereka ini berteman denganku hanya karena ingin dekat dengan Lousel yang notabene menyandang status 'Penjaring Cewek' di sekolahku. Bahkan sikap Tasya menghangat padaku ketika kami membicarakan tentangnya.
"Soalnya gua dapat kabar kalau ankle-nya terkilir kemarin," kata Denia. "Udah sembuh, kan?"
"Udah kali," kataku. "Tanya aja sama bocahnya. Gua malas."
"Lah kok malas? Parah banget lu sama abang sendiri," kata Mirina sambil kembali menyenggolku.
"Bukan malas gimana, Mir. Mukanya tebal banget kalau soal beginian. Mana pernah dia nunjukin kalau dia lagi sakit?"
"Oh, pantesan."
"Eh emang benar Lousel pernah nggak naik kelas?" tanya Tasya tiba-tiba.
"Ya menurut lu aja kenapa gua sama Lousel bisa seangkatan," jawabku.
"Kenapa emang?"
"Alasan pribadi."
Aku melihat ketiga temanku mengangguk-angguk. Kondisi Lousel yang merupakan seorang penyandang ADHD membuatnya pernah tak naik kelas sekali. Kedua orang tuaku awalnya tak sadar kalau dia menyandang itu. Setelah melakukan beberapa terapi, Lousel dinyatakan lulus bertepatan saat dia lulus SD. Tetapi hidupnya tak pernah jauh dari obat-obatan. Ada saat di mana dia lupa meminumnya dan hal itu membuatku menjambak-jambak rambut dan Jeremy membentur-benturkan kepalanya ke tembok.
Tetapi Lousel dapat menyembunyikannya dengan sangat baik. Hanya aku dan Jeremy yang mengetahui kondisi sebenarnya di sekolah. Karena statusnya sebagai anak populer, tak ada yang menyadari penyebab tingkah aneh Lousel – malah mereka memandangnya lucu, terutama anak-anak perempuan. Pesonanya memang berhasil meluluhlantakkan kewaspadaan mereka.
***
Setelah apel pagi selesai, aku cepat-cepat melangkah mendekati Jeremy setelah sebelumnya berpamitan pada ketiga temanku. Aku membekapnya dari belakang dengan kuat, membuatnya kehabisan napas.
"Mbak, ampun, Mbak!" katanya dengan suara teredam.
Aku melepas bekapanku dan tertawa ketika melihat ekspresi Jeremy ketika memutar badannya.
"Tolong dong ya. Lu pengen bunuh gua, hah?" protesnya. "Lu mau ngambil buku, ya? Gua udah bawa, kok. Itu Arthur lagi mau ambilin."
"Di mana lu taruh?" tanyaku.
"Di saung."
"Buset, nggak hilang?"
"Nggak, lah. Siapa juga yang mau nyolong buku catatan Mtk?"
Beberapa saat kemudian, Arthur bergabung dengan kami sambil membawa buku catatanku.
"Mantul, makasih Thur," kataku sambil menerima bukunya.
"Perlu banget emang buku itu, Mbak?" tanya Arthur.
"Perlu, Thur. Gua pengen belajar lebih awal," jawabku. Dari seluruh temannya, hanya Arthur yang diperbolehkan Jeremy memanggilku 'Mbak' karena kedekatan hubungan kami.
"Biasa, ambis," kata Jeremy.
"Et tu? Semuanya aja ngomong gitu," kataku sambil memukul kepala Jeremy pelan dengan bukuku.
"Karin! Buru ke kelas!" kudengar seruan dari belakangku.
"Iya, iya, bentar," kataku tanpa menoleh.
"Teman-teman lu?" kata Arthur dengan tatapan tidak suka.
"Iya," kataku. "Ya udah, gua cabut ya. Sana balik." Lalu aku membalikkan badan dan berlari menghampiri teman-temanku.
"Buru-buru amat, Mbak," kataku.
"Tasya yang mau," kata Mirina. "Udahlah, balik aja. Gua juga pengen cepat-cepat ke kelas."
Maka kami berjalan kembali ke kelas. Di tengah jalan, aku melihat Lousel bersama teman-temannya beberapa meter di depanku. Kuputuskan untuk mempercepat langkah dan meninju punggungnya, membuatnya berjengit. Dia menoleh ke belakang dan tersenyum lebar ketika melihatku. Reaksi yang selalu membuatku senang semenjak kami masih kecil.
"Halo, Dik," katanya. "Mana teman-teman lu?"
"Suka banget tebar pesona ke mereka," kataku.
"Jelas," kata Lousel. "Oh itu mereka. Hai, guys."
"Hai, Sel," sapa Denia tanpa malu-malu. Susah payah aku menahan keinginan untuk menarik tangan Lousel dan mengajaknya menjauh. "Pantesan Karin jalannya ngebut tadi."
"Gua sepagi ini belum ketemu abang ganteng gua, makanya," kataku sambil tersenyum miring dan menatap mereka. Siku kiriku kuletakkan pada bahu Lousel.
"Enak banget ya adeknya cogan," kata Mirina.
Aku tertawa puas lalu menurunkan tanganku.
"Lu lihat Maya, Sel?" tanya Tasya
"Maya? Paling udah sama teman-teman lu," kata Lousel.
"Oh udah di kelas berarti," kata Tasya. "Kuy lah." Lalu Tasya menarik tangan Denia dan Mirina menjauhi Lousel, membuatku sedikit tertohok karena merasa ditinggalkan.
"Biarin aja mereka. Lu sama gua aja."
Kurasakan sebuah lengan melingkari bahuku. Aku tersenyum seketika dan menatap Lousel.
"Peka aja lu, Cel," kataku.
"Udah dari awal kan gua bilang kalau gua nggak terlalu suka sama Tasya?" kata Lousel. "Eh? Oh maaf, Do."
"Ketemu cewek-cewek sih." Terdengar suara dari depanku. Aku mendongak dan melihat Aldo menatapku. "Lho, kok mendadak lu udah bawa adik?"
"Ditinggalin dia, makanya gua temenin. Kan gua abang yang baik."
"Gombalmu," kataku sambil memutar bola mata.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Ruzuya's: Merangkak Menuju Cahaya
Fiksi Umum*seri 1: Karin's POV* ⚠️TRIGGER WARNING!!!⚠️ Suicide (bunuh diri), blood (darah), slight sexual harassment (sedikit pelecehan seksual) Harmonis, kompak, seperti amplop dan perangkonya, sibling goals. Kata-kata itu yang mungkin terlontar dari mulut-m...