Delapan: Menjauh

2 0 0
                                    

Kabar rilisnya laguku dan ketiga saudaraku menyebar luas dengan cepat di Kesatuan Bakti. Bahkan teman-teman Jeremy juga sudah mengetahuinya. Seminggu setelahnya, hatiku melonjak senang ketika kudengar lagu itu diputar di radio sekolah saat jam istirahat siang.

"Asik, lagu lu diputar tuh, Rin," kata Mirina sambil tersenyum menggoda. "Artis nih sekarang!"

"Nggak, nggak, baru ge satu lagu," kataku sambil tertawa.

"Calon kali," kata Denia. "Nanti kalau lu rilis lagu lagi bilang kita, ya."

"Oh jelas," kataku.

Tepat saat laguku selesai, kami tiba di kelas Maya yang sama dengan kelas Lousel. Tampak anak itu menghampiri kami dengan sumringah.

"Gua tetap diam di kelas demi dengerin lagu lu doang, Rin," katanya.

"Dih, lebay lu," kataku setengah bercanda. Entah mengapa aku dapat melihat sedikit kebohongan pada kata-katanya. Mungkin aku hanya overthinking. "Mana Tasya?"

"Kayak biasanya, bucin," kata Maya. "Dah, kita mau ke GOR indoor, kan? Bola basket di siapa?"

"Tadi udah ada yang bawa," kata Denia. "Kuy, langsung aja."

Lalu kami melangkah bergegas-gegas menuju gedung olahraga indoor. Setibanya di sana, beberapa anak berlari-lari menghampiri kami.

"Wah, udah dua artis yang ikutan berarti," kata salah satu temanku.

"Dua artis?" Aku menoleh ke arah belakangnya dan mendapati Lousel tengah berjalan mendekatiku dan teman-temanku. "Oh, nggak heran."

"Langsung aja lah, tentuin siapa masuk siapa," kata anak itu.

Maka aku melakukan suit dengan Mirina, sedangkan Denia dengan Maya. Aku bergabung dengan tim anak yang menyambut kami.

"Lu berdua setim sama Lousel," katanya sambil menuding Maya dan Mirina.

Aku menaik-turunkan kedua alis pada Lousel yang memasang wajah sebal.

"Ditempelin lu." Bibirku bergerak-gerak tanpa suara, membuat Lousel berdecak kesal. Aku menyeringai karenanya.

Yang kumaksud adalah Maya. Mungkin sudah menjadi rahasia umum angkatanku kalau dia menyukai Lousel semenjak kelas sepuluh, sama seperti Michelle. Tetapi Maya bergerak lebih agresif, ditambah dengan kelasnya yang sama dengan Lousel. Memudahkannya untuk beraksi lebih lagi. Aku teringat pada mantan Lousel yang dengan murka memutuskannya karena itu – walaupun sebagian alasan juga terletak pada Lousel yang merasa bosan padanya.

"Lu tumben main," kataku setengah berbisik ketika tengah berjalan ke tengah lapangan.

"Gua lagi hiper, Dik. Butuh sesuatu buat nyalurin tenaga," kata Lousel sambil meringis.

Aku berhenti melangkah dan menatapnya.

"Lu nggak minum obat?" tanyaku.

Lousel tak menjawab.

"Cel." Aku menepuk kening.

"Gua lupa, oke?" kilah Lousel dengan gigi terkatup. "Gua tau gua nggak bisa andalin lu buat ngingetin gua, tapi mau gimana?"

"Pasang alarm kan bisa," kataku, juga dengan gigi terkatup. "Sana gabung ke tim lu." Aku mendorong Lousel menjauh.

Permainan berlangsung dengan seru. Beberapa kali kulihat Lousel nyaris menyenggol teman satu timku. Rupanya refleks anak ini bagus juga, walaupun tidak meminum obat. Biasanya dia menjadi sangat, sangat ceroboh karena fokusnya yang tak bisa diarahkan pada satu hal.

Ruzuya's: Merangkak Menuju CahayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang