Tiga: Tian, si Anak Kuliahan

6 3 0
                                    

“Bang Tiaaaan!” Lousel mengetuk-ngetuk pintu rumah dengan keras. “Dah datang nih kita!”

“Sabar!” Terdengar suara dari dalam. Setelah beberapa dentingan barang-barang dan langkah bergegas-gegas, pintu terbuka, menampakkan wajah sumringah Tian. Refleks aku berlari dan memeluknya.

“Kebiasaan lu ya, belum hilang juga dari dulu,” tawa Tian, lalu balas memeluk dan mengangkatku. Aku menjerit seketika.

“Bang! Turunin!” seruku.

“Kok makin enteng lu?” kata Tian sambil menurunkanku. “Makannya benar nggak dia, Cel?” Dia menatap Lousel yang berdiri di belakangku.

“Santai, benar kok, Bang,” kata Lousel. “Teman-temannya nyeret dia terus gua lihat-lihat.”

“Kalau si kecil ini gimana?” Tian melangkah melewatiku dan mengacak-acak rambut Jeremy ketika sampai di depannya.

“Mas, udah.” Jeremy menggeleng-geleng.

“Terus gua nggak diapa-apain gitu, Bang?” protes Lousel.

“Gua tau lu nggak suka digituin. Daripada gua diamuk mending menghindar,” kata Tian. “Masuk. Jangan di luar terus.”

“Lu sendiri yang nahan kita.” Kudengar Jeremy bergumam selagi melangkah masuk sambil membawa tasnya.

“Kalian langsung dari sekolah berangkatnya?” tanya Tian yang kini sudah menaiki tangga.

“Iya. Ini gua sama Arin masih pakai seragam,” jawab Lousel. “Mumpung seminari pulangnya lebih awal. Kenapa sih, Dik?” Dia menoleh ke arah Jeremy.

“Romo sama fraternya mau apa gitu, lupa,” katanya. Aku meringis melihatnya membawa barang banyak.

“Kasih satu ke gua, Dik,” kataku.

Jeremy menatapku bingung.

“Barang lu,” kataku lagi.

Jeremy ber-oh lalu menyerahkan salah satu bawaannya.

“Kamar kayak biasa, ya,” kata Tian sesampainya kami di lantai dua. “Tuh studio kalau mau pakai. Udah ada cajon, tapi gitar kidal nggak ada. Cuma ada bass kidal.” Dia menuding sebuah ruangan tertutup di salah satu pojok lalu menatap Lousel.

“Santai.” Lousel mengangkat bahu. “Gitar gua kan emang lagi rusak, Bang. Dirusakin siapa, ya?” Dia menatap tajam Jeremy yang meringis.

“Maaf, Mas. Nggak sengaja,” katanya.

Lalu kami mulai berbenah di kamar masing-masing. Seperti biasanya, Tian membantuku, padahal aku tidak terlalu butuh bantuan.

“Lu dapat cajon dari mana, Bang?” tanyaku.

“Rumah, lah,” jawab Tian.

“Ini kan rumah juga.” Aku menatapnya aneh.

“Maksud gua rumah di Bogor,” kata Tian. “Gua lihat-lihat cajon-nya nggak pernah kalian pakai. Ya udah gua bawa ke sini.”

“Nggak lu mainin juga.”

“Barangkali teman-teman kampus gua mau datang terus jamming? Kan nggak tau.”

“Emang lu ikut UKM Musik?”

“Nggak.”

“Terus?”

“Ya nggak papa.”

“Lu ngapa aneh banget sih, Bang?” tawaku.

“Karena lu juga aneh,” kata Tian sambil mencolek hidungku.

Ruzuya's: Merangkak Menuju CahayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang