Enam: Proses Pembuatan

3 1 0
                                    

"Hah? Lu bikin lagu, Rin?" tanya Michelle, teman dekatku di kelas.

Aku mengangguk.

"Kenapa emang?" tanyaku.

"'Kenapa emang'? Keren tau!" seru Michelle.

"Mich, nggak usah keras-keras lu teriak," kataku sambil mengusap-usap telinga yang pengang.

"Eh, maaf." Michelle memelankan suaranya. "Toh kelas lagi berisik ini."

"Tetap aja. Budek kuping gua."

Michelle tertawa.

"Eh tapi serius. Lu bikin lagu? Sama Lou?" tanyanya kemudian.

"Iyalah," kataku. "Sama saudara-saudara gua yang lain juga."

"Termasuk Jeremy?"

"Iya."

Michelle melongo.

"Keren!" katanya untuk kesekian kalinya. "Ntar gua dikirimin demonya dulu, ya."

"Tergantung keputusan berempat. Lu tau sendiri Ucel agak sensitif sama hal-hal kayak gini."

"Iya, gua ngerti. Kalau kalian setuju."

Aku mengangguk lalu lanjut mengerjakan tugas Matematika.

"Eh kata lu di bagian sini diapain?" tanyaku sambil menyenggol Michelle tanpa menatapnya.

"Bagian mana?" Michelle mendekat. "Oh, situ. Kata Brigitte dikali silang dulu, baru pakai rumus."

"Oh, oke," kataku, lalu lanjut mengerjakan.

"Terus kalian rekamannya kapan? Katanya baru selesai nulis ulang liriknya," kata Michelle.

"Hari ini rencananya, tapi tergantung anak-anak seminari ke perpus atau nggak," kataku sambil tetap menulis. "124 kali 12- ah bangke, coba ada kalkulator."

"Pakai HP lu kan bisa," kata Michelle. "Terus kalau mereka ke sini lu mau seret Jeremy, gitu?"

"Iya," kataku sambil merogoh kantong dan mengeluarkan ponsel. Setelah membuka aplikasi kalkulator, aku menghitung permasalahan yang tengah kukerjakan.

"Susah kali."

"Pasti ada caranya."

"Kalau ketahuan guru yang lagi ngajar gimana?"

"Nggak akan."

"Kok lu yakin banget?"

"Karena gua pernah menyelundup. Ssst, gua lagi serius."

"Eh iya, maaf," kata Michelle.

Tak kudengar lagi pertanyaan-pertanyaan darinya. Setelah menyelesaikan soal itu, aku meletakkan pulpen dengan perasaan puas.

"Akhirnya selesai," kataku.

"Tungguin kenapa," kata Michelle yang masih berkutat dengan pulpen dan kertasnya. "Lihat punya lu aja, deh."

"Nih." Aku menggeser kertasku mendekatinya. Setelah Michelle selesai menyalin milikku, aku kembali menariknya.

"Lagi baik ya lu," kata Michelle sambil meletakkan pulpen dan menatapku.

"Selalu kali."

"Berisik."

"Bilang ke cowok lu. Dia lebih berisik."

Senyum miringku terkembang ketika kulihat wajah Michelle bersemu merah. Sudah sejak kami memasuki SMA Kesatuan Bakti anak ini menyimpan rasa untuk Lousel. Sebenarnya banyak yang seperti Michelle, tetapi menurutku Michelle-lah yang paling waras. Bahkan keempat temanku yang lain saja selalu bersikap berlebihan, membuatku terkadang harus menjauh dari mereka.

Ruzuya's: Merangkak Menuju CahayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang