TRIGGER WARNING: sexual harassment
***
Ketika aku tengah berdiri di pinggir koridor dan memandang ke arah lantai satu, kulihat Arthur dan seorang anak lagi berjalan menuju tangga SMA. Dengan segera aku berjalan cepat menuju tangga dan menuruninya, tau dia akan menuju ruang guru.
"Thur, bentar," panggilku ketika anak itu mulai berjalan menyusuri koridor.
Arthur menoleh dan tersenyum sumringah.
"Hai, Mbak," sapanya, lalu mengisyaratkan temannya untuk berjalan terlebih dahulu. "Nanyain Jeremy?" tanyanya kemudian.
"Iya," kataku. "Gimana dia?"
"Diam banget, Mbak. Makin jarang aktif di kelas, padahal dulu tiap ada pertanyaan atau ada kesempatan buat nanya dia selalu ngangkat tangan," tutur Arthur.
Aku menghembuskan napas.
"Gimana dia di asrama?" tanyaku.
"Sama aja. Waktu yang lainnya bersosialisasi dia sendiri ngurung diri di kamar. Tiap Darrel masuk kamar dia selalu nemuin Jeremy tidur munggungin arah pintu. Buat makan harus dipaksa juga."
"Duh alah, Dik." Aku menumpu kening dengan tangan. "Sebenarnya masalahnya itu sama siapa, Thur? Kenapa dia bisa sampai separah ini down-nya?"
Kulihat kaki Arthur bergerak-gerak gelisah. Lantas aku mendongak dan mendapati ekspresinya sama gelisahnya. Aku mengangkat alis.
"Ndak mau ngomong?" kataku. "Yo wis, ntar tak cari dewe."
"Sebenarnya ada masalahnya, Mbak," kata Arthur buru-buru. Nyaris saja aku tersenyum miring. Ancamanku seperti ini pada Arthur dan beberapa temannya memang selalu bekerja. "Cuma, yah, anak-anak seminari minta nggak sampai bocor ke luar. Cukup di kita aja."
"Gitu," kataku. "Lu sadar betul kan kalau masalah serapat apapun lu tutupin bakal kebongkar juga di Kesbak? Walaupun kalian seminari, tetap aja."
"Tau."
"Terus?"
“Selama kita bisa nahan ini masalah, masih baik-baik aja. Seenggaknya buat Jeremy. Kasihan dia kalau sampai anak-anak Kesbak tau.”
"Sampai separah itu masalahnya?"
Ekspresi Arthur menunjukkan kalau dia telah salah berbicara.
"Udah, itu aja yang lu bisa tau," kata Arthur akhirnya, lalu membalikkan badan dan meninggalkanku.
Aku melepas senyum miring. Setidaknya aku sudah mendapatkan cukup detail tentang masalah Jeremy.
"Halo, Karin." Kudengar suara Denia dari belakang.
"Halo," sapaku sambil menoleh. Tampak di belakangnya teman-temanku lainnya. "Mau ke mana?"
"Bukan urusan lu, sih," kata Tasya.
"Urusan dia, lah," kata Maya. "Lama kita nggak ngajak Karin ke mana-mana."
"Iya, nih. Kalian ke mana aja? Ngerumpi terus berempat, gua-nya dikacangin," kataku pura-pura merajuk, tetapi dengan telinga awas siap mendengarkan jawaban mereka.
"Biasalah, ngegosipin abang lu," kata Maya. "Yuk, Rin, mau ke bawah? Kebetulan kita lagi mau ngadem di saung samping gerbang seminari."
"Kayak adem aja di situ," kataku dengan nada biasa dan kecurigaan tinggi.
"Lagi teduh barusan gua lihat," kata Tasya.
Setelah berpikir sejenak, akhirnya aku menyanggupi ajakan mereka. Aku berjalan paling belakang sambil berpikir. Tumben sekali Mirina tidak berbicara sama sekali. Aku sangat tau dialah anak paling banyak berbicara dari antara kita berlima. Begitu juga dengan Denia, hanya menyapaku di awal tetapi tidak turut menimpali kata-kata Maya dan Tasya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ruzuya's: Merangkak Menuju Cahaya
General Fiction*seri 1: Karin's POV* ⚠️TRIGGER WARNING!!!⚠️ Suicide (bunuh diri), blood (darah), slight sexual harassment (sedikit pelecehan seksual) Harmonis, kompak, seperti amplop dan perangkonya, sibling goals. Kata-kata itu yang mungkin terlontar dari mulut-m...