Lima: Panggilan untuk yang Tak Tergapai

6 2 0
                                    

Malam harinya, aku dan saudara-saudaraku memutuskan untuk makan di luar. Kini kami telah tiba di restoran tujuan.

"Langganan lu, Bang?" tanya Lousel sambil memutar-mutar kunci mobil.

"Iya." Tian mengangguk. "Kesukaan teman-teman gua juga. Kalian bakal suka, sih. Makanannya sesuai selera kalian soalnya."

"Kata-kata seorang cowok brengsek kayak gini biasanya bullshit, Bang," candaku.

"Heh." Tian mengetuk kepalaku dengan jari telunjuknya. "Udah gua bilang kan di kampus kalau gua mau tobat?"

"Oh, Mas Tian tobat? Keren," kata Jeremy. "Dapat hidayah dari mana lu?"

"Diam." Kini Tian mengetuk kepala Jeremy.

Sesampainya di dalam, kami mencari tempat duduk. Beruntung kami langsung mendapatkan meja dengan empat kursi yang belum ditempati.

"Kayaknya kata-kata lu benar, Bang," kata Lousel ketika buku menu telah diberikan pada kami.

"Udah gua bilang," kata Tian yang duduk di seberangnya. "Cocok juga buat perut manja lu, Cel."

"Perut gua nggak manja," kata Lousel, lalu membuka buku menu. "Sekarang gua bingung mau pesan apa."

"Kalau lu nggak bisa mutusin mending samain kayak makanan gua, oke?" kataku.

"Pilihan makanan lu kadang bikin perut gua mulas, Dik," kata Lousel.

"Kan, manja," kata Tian.

"Bacot, Bang."

"Udah, mending samain kayak makanan gua aja kenapa," kata Jeremy. "Pusing lagi gua kalau lihat kalian berantem buat jadi malaikat penyelamat Lousel."

"Gile, gua punya malaikat penyelamat," tawa Lousel. "Tiga lagi."

"Gua jadi iblis pengganggu aja deh, Cel. Nggak sudi," kataku.

"Nggak keberatan sih, asalkan lu nggak jadi orang asing aja di hidup gua."

"Gombalmu!" kataku dan Jeremy bersamaan.

"Heh, Adik-adik, buruan pilih mau makan apa! Jamuran tau gua nungguin kalian," kata Tian.

"Iya, ampun Kakak Sulung," kata Jeremy.

Beberapa menit kemudian, Tian memanggil lagi waitress yang tadi memberikan buku menu. Kulihat kaki Lousel bergerak-gerak naik turun gelisah. Matanya tak henti-henti bergerak naik turun, sedangkan tangan kirinya juga tak henti-henti membolak-balik halaman buku menu.

"Ada yang panik," kataku setengah berbisik dengan geli.

"Diam kau," desis Lousel, sementara Tian telah menyebutkan pesanan kami.

"Udah, samain aja kayak Jeremy," kataku.

"Tapi gua pengen ini juga, Dik," kata Lousel sambil menunjuk sebuah menu. "Eh tapi ini juga enak kayaknya- dahlah." Lousel menutup buku dengan jengkel.

Aku tertawa miris. Sepertinya sulit menjadi seorang Lousel. Seberapa sering dia menghadapi kesulitan semacam ini karena kondisinya?

"Lu jadinya mau pesan apa, Cel?" tanya Tian.

"Samain aja kayak Jeremy," jawab Lousel jengkel.

"Oke," kata Tian, kentara terlihat kalau dia berusaha menahan tawa.

Setelah menyebutkan pesanan-pesanan kami, waitress tersebut pergi.

"Capek gua kalau tiap ke restoran harus kayak gini terus," kata Lousel sambil menghela napas. "Dahlah, nggak usah ikut aja gua."

Ruzuya's: Merangkak Menuju CahayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang