Tujuh: Perilisan

3 1 2
                                    

"Nih Jeremy chat," kata Lousel sambil menyerahkan ponselnya padaku.

Aku menerimanya dan membaca chat-nya dengan Jeremy.

lousel_a: Iya gua sama arin lagi proses ngedit2 lagunya

lousel_a: Bagian bang tian udah ada juga. Ini tinggal dialusin dikit

jeremy.ruzuya: oh, terus? Ga ada yang perlu gua bantu lagi?

Aku mengetikkan balasan.

lousel_a: Ngga ada dek

lousel_a: *ni arin

lousel_a: Ntar lu juga ngeditnya gimana? Kan susah pake komputer seminari

jeremy.ruzuya: eh mbakyuku nongol

jeremy.ruzuya: seriusan? Gua ga enak

lousel_a: Sans aja dek

lousel_a: Ntar gua kasih lu aja kalo udah jadi lagunya

jeremy.ruzuya: yaiyalah mba. Lu kalo ga kasih gua ngamuk kali guanya

Aku tertawa, membuat Lousel menoleh padaku.

"Jeremy udah balas lagi?" tanyanya.

"Iya," jawabku. "Nih, baca aja sendiri." Aku kembali menyodorkan ponsel pada Lousel.

Setelah membacanya beberapa saat, Lousel tertawa.

"Bocah bisaan," katanya, lalu meletakkan ponsel di sampingnya. "Jadi gimana? Yang tadi perlu ada diedit lagi, nggak?"

"Nanti tunggu pendapat Bang Tian dulu," kataku. "Mau kirim ke Jeremy sebenarnya gua, tapi susah."

E-mail kan bisa, Dik," kata Lousel.

Aku menepuk kening.

"Betul juga," kataku. "Udah capek gua. Nggak bisa mikir."

"Ya istirahat sana," kata Lousel. "Gila, mata lu udah nggak ada bedanya sama panda."

"Panda kan lucu," kataku, lalu beranjak dari tempat tidur. "Bye, Cel."

"Jorok, nggak sikat gigi dulu," kata Lousel.

"Biar. Nggak ada orang tua ini. Bebas." Lalu aku melenggang keluar dari kamar Lousel.

"Dasar jorok!"

***

Akhir minggu ini waktunya Tian dan Jeremy pulang. Setibanya aku dan Lousel di rumah selepas menjemput Jeremy, kulihat sepatu di rak sudah bertambah sepasang jumlahnya.

"Udah pulang Mas Tian," kata Jeremy, lalu turun dari mobil. Aku dan Lousel menyusul lalu langsung melangkah ke dalam rumah, sedangkan Jeremy mengambil barang-barangnya terlebih dahulu di bagasi.

"Bang Tiaaaaan! Oh, halo Pa." Lantas aku memelankan suara ketika Papa muncul.

"Karina, suaramu itu keras. Kamu tau kan?" katanya.

Aku hanya menyengir.

"Kenapa kalian? Rach dilihat-lihat juga semangat kayak kalian," kata Papa lagi.

"Kita lagi ngadain proyek rahasia," kataku tanpa menghilangkan cengiran.

"Sok misterius kalian." Papa tertawa. "Ya udah. Rach di atas, di studio alat musik."

"Oke, Pa." Aku melejit ke lantai dua. Sesampainya di depan studio, aku membuka pintu. Tampak Tian tengah memainkan gitarnya.

"Dik!" Setengah terburu-buru Tian meletakkan gitarnya. "Mana Ucel sama Jemmy?"

Ruzuya's: Merangkak Menuju CahayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang