Tak terasa, aku dan teman-temanku sudah memasuki semester dua. Lousel mengerang ketika kami berjalan memasuki gerbang SMA.
"Malas banget udah semester dua," katanya. "Makin sibuk pasti. Ujian, pelajaran tambahan, ugh!"
"Ya ntar nggak akan kerasa kali, Cel," kataku sambil menyenggol bahunya. "Semangat dikit kenapa."
"Udah hilang semangat gua, Dik," kata Lousel.
Sesampainya di koridor kelas dua belas, kami berpisah jalan. Aku melangkah memasuki kelasku sedangkan Lousel terus berjalan menuju kelasnya. Aku melihat Michelle melambai-lambaikan tangan. Aku membalasnya dan mempercepat langkah mendekatinya.
"Gua lihat-lihat asik juga lu liburannya," kata Michelle ketika aku tengah meletakkan ransel di kursi samping meja yang ditempatinya.
"Asik, dong," kataku, lalu duduk. "Baru pertama kali ini gua bisa liburan sekeluarga komplit. Biasanya kalau nggak bokap gua sibuk, abang gua yang sibuk."
"Eh soal keluarga lu, Jeremy gimana?" tanya Michelle. Aku memang menceritakan sedikit hal padanya tentang tingkah Jeremy yang semakin aneh. "Masih lesu dia? Gua lihat-lihat di fotonya dia nyaris nggak senyum gitu."
"Udah semangat dikit dia, tapi masih lesu," kataku sambil menghembuskan napas. "Gua nggak ngerti masalahnya, Mich. Dia nggak cerita. Untung udah mau gua bujuk masuk. Kalau nggak ada kali dia nggak masuk sekolah dua bulan."
"Nggak lu tanyain?"
"Udah. Malah udah setengah gua paksa. Dia-nya malah marah."
"Lah?" Kening Michelle berkerut. "Orang bermaksud baik malah dimarahin."
"Dia emang nggak suka dipaksa cerita sih kalau soal begini," kataku. "Tapi ya gimana? Gua udah takut mentalnya rusak kalau dia pendam terus."
"Rumit banget punya adik kayak dia."
"Emang. Bang Tian aja setengah mati ngurusinnya."
Michelle tertawa.
"Terus hubungan lu sama teman-teman lu sendiri gimana?" tanyanya kemudian.
"Gua udah nggak pusingin hubungan gua sama teman-teman gua," kataku jujur. "Gua terlalu sibuk sama adik gua."
"Oh, nggak heran."
"Maksud lu?"
Michelle tampak terkejut.
"Nggak, nggak," katanya. "Anggap aja gua nggak ngomong apa-apa, ya."
"Nggak," kataku. "Lu udah terlanjut ngomong ke gua berarti lu harus jelasin persoalannya. Kenapa teman-teman gua?"
Michelle menggeleng.
"Mich, ngomong," desakku.
"Nanti lu juga tau sendiri," elak Michelle.
"Khas banget ya kata-kata orang yang mau ngehindar."
"Beneran, Rin. Lu nanti juga tau sendiri."
Aku menghembuskan napas.
"Oke, nanti gua cari tau sendiri," kataku, lalu menghadap depan.
Apa lagi ini? Belum juga masalah Jeremy dapat kuketahui, sekarang aku mendapatkannya juga? Sedang bercandakah semesta?
Aku menggeleng-geleng lalu merogoh kantongku untuk mengeluarkan ponsel dan earphone lalu memutar lagu keras-keras.
***
Aku terbangun ketika bel berbunyi. Setelah mengangkat kepala, aku menguap dan memungut buku-buku di hadapanku untuk kubereskan.
"Pagi, sleeping beauty."
"Pagi, Mich," kataku tanpa menoleh, sudah mengenal betul suaranya. Tanganku tetap sibuk membereskan barang-barang.
"Tumben pagi-pagi udah tidur."
"Kemarin gua kurang tidur. Ucel berisik banget semalaman."
"Nggak lu dobrak pintunya?"
"Iya akhirnya, sekitar jam tiga."
"Buset."
Setelah memasukkan buku-buku yang tidak perlu dan mengambil buku untuk pelajaran selanjutnya, aku menghadap Michelle karena mendadak aku teringat kata-katanya tadi.
"Lu dengar sesuatu tentang gua, Mich?" tanyaku.
"Tiba-tiba lu. Biasanya juga nggak peduli," kata Michelle.
"Jawab aja, Mich," kataku.
"Nggak sih sejauh ini," kata Michelle. "Selain gosip orang-orang sirik karena lu dekat sama Lou kan maksud lu?"
Aku mengangguk.
"Nggak harusnya," kata Michelle. "Tapi nggak tau juga. Gua kan nggak update soal ginian, Rin, lu harusnya tau."
"Iya, sih," kataku. "Cuma lu yang gua percaya. Makanya gua nanya ke lu."
"Rin, lu kenapa?" Kepala Michelle miring sedikit ke kanan dengan kening berkerut.
Aku menggeleng.
"Nggak papa, nanya doang gua," kataku sambil memaksakan seulas senyum. Perasaan menyebalkan yang seringkali muncul kembali lagi.
"Kenapa lagi?" tanya Michelle.
"Terus yang maksud lu 'nggak heran' tadi apa, dong?" kataku.
"Maksudnya?"
"Yang tadi gua bilang kalau gua sibuk ngurusin adik gua sampai nggak musingin hubungan gua sama teman-teman gua, lu bilang 'oh, nggak heran'. Maksudnya apa, Mich?"
"Oh, itu. Kan udah gua bilang lu bakal tau sendiri."
"Gimana kalau dari mulut lu aja?"
"Kenapa harus dari gua?"
"Karena gua nggak percaya sama orang lain selain lu."
"Klasik banget alasan lu."
"Michelle, lu nggak percaya gua?"
Michelle melongo.
"Oh, itu beneran?" katanya.
"Menurut lu aja gimana," kataku dengan intonasi rendah. "Atau nggak seharusnya gua percaya lu?"
"Nggak, Rin." Michelle buru-buru menjawab. "Sori, kayaknya gua kebablasan."
Lalu kami terdiam. Kemudian Michelle menghembuskan napas lalu mulai bercerita.
"Teman-teman lu, Rin," katanya. "Gua kurang ngerti mereka ngomongin apa, tapi yang jelas kurang bagus. Mereka ngomongin lu gitu."
"Ngomongin gimana?"
"Nggak ngerti juga gua. Kayaknya mereka pengen ngerencanain sesuatu buat lu."
"Bagus, dong."
"Bukan itu maksud gua, cantik." Michelle mengguncang-guncangku. "Sesuatu yang nggak bagus maksud gua. Jadi tolong, hati-hati."
Keningku berkerut.
"Detailnya masih kurang," kataku.
"Gua nggak bisa kasih detail lebih banyak lagi," kata Michelle. "Makanya gua bilang lu bakal tau sendiri karena kan lu bisa tau apa yang mereka omongin dari gerak-gerik mereka."
"Itu namanya cenayang, Michelle. Gua nggak sampai segitunya," kataku. "Gua cuma sebatas tau mereka ngomongin gua di belakang. Nggak sampai nguping pembicaraan mereka dari beratus-ratus meter juga."
"Oh, beda?"
"Menurut lu aja."
***
Buat chapter selanjutnya, mungkin buat yang ngga nyaman bisa skip aja. Soalnya menyinggung sedikit sexual harassment. Udah dikasih TW-nya sih, tapi aku mau tetep bilang dari sekarang buat antisipasi aja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ruzuya's: Merangkak Menuju Cahaya
General Fiction*seri 1: Karin's POV* ⚠️TRIGGER WARNING!!!⚠️ Suicide (bunuh diri), blood (darah), slight sexual harassment (sedikit pelecehan seksual) Harmonis, kompak, seperti amplop dan perangkonya, sibling goals. Kata-kata itu yang mungkin terlontar dari mulut-m...