Perjalanan dari rumah ke kampus Tian memakan waktu tiga puluh menit. Hal ini membuatku heran karena seharusnya Tian bisa saja tinggal di kos yang lebih dekat.
"Papa minta ada yang tinggal di rumah Bandung, Dik. Makanya gua milih di situ. Walaupun lebih jauh, sih," kata Tian ketika aku menanyakan hal ini. Suaranya teredam oleh deru mesin kendaraan di sekeliling kami dan helm yang menutupi kepalanya.
"Pasti ada yang mau rumahnya dijual aja, ya?" kataku. "Kenapa nggak nurutin aja sih, Bang? Kita juga udah jarang ke sana."
"Dua perusahaan terbesar Papa kan di Bogor sama Bandung, Dik. Dan letaknya yang di sini juga dekat sama rumah."
"Oh, Papa sesekali ke rumah sini juga?"
"Iyalah. Makanya rumahnya masih bersih. Kadang juga Papa tinggal di sini kalau lagi mantau di Bandung."
Aku hanya mengangguk walaupun Tian tidak dapat melihat.
Beberapa meter kemudian, gerbang kampus Tian mulai terlihat. Aku melongo melihatnya. Besar sekali gedungnya!
"Gede banget gedungnya, Bang!" kataku. Belum pernah aku melihat gedung milik institusi pendidikan sebesar ini.
"Percaya, Dik, banyak gedung kampus yang lebih gede dari ini," kata Tian, lalu membelokkan motor memasuki area kampus. Setelah memarkirkannya, kami turun.
"Lah, Bang." Mendadak aku tersadar oleh sesuatu. "Kalau lu mau ajak gua ke kampus cuma buat bantuin lu susun materi skripsi kenapa nggak di rumah aja?"
"Soalnya," Tian melepas helmnya dan menggantungkannya pada salah satu spion, "satu, materi-materi skripsi gua ada di kampus semua dan gua mau bawa pulang. Dua, Papa nyuruh gua buat ajak lu keliling kampus gua. Katanya buat nyiapin lu, barangkali mau sekampus sama gua. Walaupun gua bakal udah lulus sih waktu lu semester satu."
"Kok nggak sekalian sama Ucel?"
"Ucel udah tau mau masuk mana dia. Tumbenan kan bocah, biasanya dia plin-plan banget soal beginian."
"Yah, kan itu menyangkut minat dia juga, Bang. Karena itu dia langung tau. Ngomong-ngomong, perhatian banget si bapak."
"Papa selalu gitu kan ke lu. Mentang-mentang cewek sendiri." Tian mencolek ujung hidungku. "Dah yuk, masuk aja. Nggak usah takut kalau ketemu teman-teman gua. Mereka santuy-santuy orangnya." Lalu Tian melangkah mendahuluiku yang tersenyum hambar.
Selalu, SELALU saja, aku dikait-kaitkan dengan anak perempuan satu-satunya. Walaupun memang benar kenyataannya, tetap saja aku merasa tak nyaman. Bukan karena hal-hal yang dikaitkan dengan statusku, tetapi karena label 'perempuan' itu sendiri. Entah, aku juga tidak mengerti.
Ketika menaiki tangga menuju gerbang kampus, banyak kulihat mahasiswa berlalu-lalang. Sebagian mengenakan almamaternya, membuatku sedikit iri. Rasanya ingin cepat-cepat lulus SMA dan mengenakan almamater identitas universitas yang nantinya kupilih. Sepertinya keren.
"Kalau nggak salah lu ada kelas hari Sabtu," kataku ketika menyadari Tian tidak memakai almamaternya.
"Masih sore nanti," kata Tian, lalu menghentikan langkah melihat ke arah di belakangku. "Bayu? Tumben ke kampus."
"Hai, Rachel." Kudengar sapaan dari arah yang sama. Tawaku nyaris menyembur ketika mendengar nama panggilan itu. "Oh, bawa Karin?"
Aku menoleh. Barulah dapat kulihat sosok Kak Bayu.
"Dipaksa aku, Kak," candaku.
"Parah ya Rachel," kata Kak Bayu sambil menggeleng-geleng.
"Bisa nggak itu panggilan dihilangin aja?" kata Tian. "Nama gua Rach, oke? Bukan Rachel."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ruzuya's: Merangkak Menuju Cahaya
Fiksi Umum*seri 1: Karin's POV* ⚠️TRIGGER WARNING!!!⚠️ Suicide (bunuh diri), blood (darah), slight sexual harassment (sedikit pelecehan seksual) Harmonis, kompak, seperti amplop dan perangkonya, sibling goals. Kata-kata itu yang mungkin terlontar dari mulut-m...