“Hari ini belum lihat gua anak-anak seminari berantem sama Kesbak,” kata Lousel.
Aku mengangguk sambil tetap fokus pada jalan di depan.
“Atau kita aja yang belum lihat,” kata Lousel lagi. “Gimanapun juga, akhirnya gua menemukan ketenangan selama di sekolah.”
“Ya, dan nggak ada kemungkinan Jeremy nonjok anak,” kataku. “Terakhir seminari sama anak-anak kelas sepuluh adu mulut Jeremy hampir mau nonjok anak, kan?”
“Hah? Masa?”
“Cel, pelan-pelan lu ngomong.” Aku mengusap-usap telinga kiri yang pengang. “Iya, waktu itu gua sama Denia lihat. Cuma untungnya ditahan Will, sih.”
“Oh, William yang nahan.”
“Nada suara lu, Cel,” kataku dengan nada kering.
“Iya, iya, maaf,” kata Lousel sambil tertawa.
Aku mendengus. William adalah salah satu teman Jeremy yang sempat mendekatiku juga, bahkan membuatku menyukainya. Namun ternyata dia menyukai anak lain, membuatku berang setengah mati kala itu. Bahkan Jeremy turut membencinya karena itu.
“Lu masih temenan sama Tasya?” tanya Lousel tiba-tiba.
“Iya,” kataku, sudah terbiasa dengan jalan pikiran Lousel yang suka melompat-lompat.
“Kan gua-”
“Nggak suka.”
Dapat kurasakan Lousel menatapku aneh.
“Lu udah bilang berkali-kali, Cel,” kataku, menginjak pedal rem perlahan ketika sampai pada lampu merah. “Gua ngerti, dan gua juga nggak suka sama dia.”
“Terus kenapa masih temenan?”
“Denia, Mirina, sama Maya temenan sama dia.”
“Terus lu mau ngikutin mereka kalau mereka loncat dari tebing?”
“Lousel Arnold, itu beda.” Aku menatap Lousel lekat-lekat, membuatnya menghindari tatapanku. “Nggak semua ilustrasi cocok sama kasus-kasus sekarang, oke?”
“Tapi lu dapat poin gua.”
“Gua dapat.”
“Terus?”
Aku menghembuskan napas, lalu memegang lengan kanannya.
“Cel, gua ngerti kenggaknyamanan lu tiap kali lihat gua main sama Tasya. Nggak, sama mereka berempat,” kataku. “Gua juga nggak nyaman, tapi bukan berarti gua nggak bisa temenan sama mereka, kan? Lagian gua sama mereka berempat masih baik-baik aja. Belum ada hal berarti yang bisa bikin kita berlima berselisih.”
“Dan sampai kapan lu mau korbanin kenyamanan lu, Dik?” kata Lousel, akhirnya menatapku. Dia meraih tanganku yang memegang lengannya dan mendekapnya erat dengan kedua tangannya. “Udah cukup gua dengar lu digunjingin terus karena terlalu nempel sama gua. Gua nggak mau lu tambah masalah karena mereka berempat.”
“Digunjingin?” Keningku berkerut. “Kapan?”
“Dari dulu, kali,” kata Lousel.
“Kan gua adik lu, kenapa gua nggak boleh nempel sama lu?”
“Itulah, nggak ngerti gua.” Giliran Lousel yang menghembuskan napas. “Tuh kan, lu cuma jalan aja udah diomongin sana-sini.”
“Terus?”
“Kalau Tasya aneh-aneh nanti gimana?”
“Maksudnya? Kalau aneh-aneh ya yang rusak nama dia kali. Apa hubungannya sama gua?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Ruzuya's: Merangkak Menuju Cahaya
General Fiction*seri 1: Karin's POV* ⚠️TRIGGER WARNING!!!⚠️ Suicide (bunuh diri), blood (darah), slight sexual harassment (sedikit pelecehan seksual) Harmonis, kompak, seperti amplop dan perangkonya, sibling goals. Kata-kata itu yang mungkin terlontar dari mulut-m...