༄Dai Juu Ichi Fuyu

349 64 0
                                    

DERING telfon menyentak pikiran gadis yang termenung dalam lamunan, suasana malam sepi menemaninya kala ia duduk pada bangku halte. Merogoh saku roknya melihat ID Caller yang terpampang pada layar ponselnya "Moshi–"

"Maaf aku sepertinya tidak–"

Bibir dengan polesan tint tipis itu tersenyum kecut, padahal sudah tahu akan jadi seperti ini "Wakatta. Jaa aku tutup dulu telfonnya." Ia mendesah lelah, punggungnya sudah terlalu pegal menunggu, melihat jam digital pada layar ponsel yang menunjukkan pukul 21.00 malam.

Ah empat jam ia menunggu. Jika dipikir lebih baik, orang gila macam mana yang rela menghabiskan waktu empat jam hanya untuk menunggu dan duduk pada halte terlebih tak banyak yang dikerjakan hanya menoleh mencari presensi, menghitung pejalan kali, menghitung mobil, lalu mengecek ponsel berulang kali.

Ia beranjak, memasukkan tangannya pada saku mantel yang digunakan, membenamkan setengah wajah pada syal yang melingkar dilehernya. Dingin. Padahal ia sangat tahu akan kesibukan yang dialami pemuda itu, tapi kenapa? Rasanya kali ini hubungannya tidak berjalan baik sama sekali. Rasa kecewa menggerogoti hatinya.

Bahkan pemuda tersebut mengingkari janjinya. Tersenyum pahit, ia memasuki kedai ramen disana karena perutnya minta diisi. Gadis itu menopang dagunya dengan netra yang memandang kaca jendela luar yang menampilkan langit hitam serta lampu trotoar yang menyala sepanjang jalan.

Ponselnya berdering kembali, namun kali ini bukan nama pemuda itu yang tertera. Mengambil nafasnya dalam dan menggeser icon hijau bergambar telfon "Ohayou~" sapaan riang terdengar memasuki gendang telinga, alisnya berkerut dalam namun mengulas senyum tipis.

"Shoyou, di Jepang sedang malam tahu." Ujar gadis itu mengambil sumpit, "Ehhhh? Maji? Gomen gomen aku lupa perbedaan jam di sini dan di Jepang." [Name] tersenyum, mengaduk mangkuk ramen dengan sumpitnya.

"Bagaimana kabarmu Shoyou?" Kata [Name] memandangi mangkuk ramennya.

"Ah aku baik! Bagaimana dengan kau? Apa aku menganggumu? Kau sudah tidur?" Ia terkekeh saat Hinata yang memborbardirnya dengan pertanyaan.

"Um, aku baik. Iie, aku sedang di kedai ramen." Pemuda diseberang sana menghentikan jogging paginya, ah rasanya ia merindukan kampung halamannya.

"Ii na, kalau disini jarang sekali menemukan Ramen."

"Haha, tentu saja. Lain kali aku akan mentraktirmu Ramen jika kau pulang. Hitung-hitung sebagai kata sambutan untukmu." Hinata tersenyum "Yosh! Kau harus menepati janjimu [Name]!"

"Hai~"

Langkah Hinata berhenti, ia memandang pantai matahari masih belum terangkat "Bagaimana hubunganmu dengan Kageyama?" [Name] terdiam beberapa detik hingga ia menyugar surai yang menjuntai "Baik. Sangat baik."

Hinata tersenyum kecil, angin pagi serta keberadaannya dipantai membuat tubuhnya sedikit mengigil kendati ia memakai jaket sport. "Souka, baguslah. Kalau begitu aku tutup telfonnya, oyasumi [Name]!"

"Oyasumi Shouyou."

Ia menaruh ponselnya kembali, kemudian menyumpitkan mie. Merasakan rasa gurih serta asin. Ah menyedihkan bahkan saat seperti ini kenapa harus air matanya turun?

Kageyama menghempaskan tubuh lelahnya pada ranjangnya, melirik jam digital yang menunjukkan pukul 24.00 malam.

"Apakah ia pulang dengan selamat?" Kageyama meraih ponselnya, netra biru gelapnya menggulir kontak. Nada khas panggilan menyambut telinganya,

"Ya?" Kageyama merubah posisinya menjadi duduk pada pinggir ranjang, tenggorokannya mengering tiba-tiba "Tobio ada apa?"

Ia menyugar surai hitamnya, kemudian pertanyaan bodoh itu terlontar "Kau sudah pulang?"

"Ya, aku sudah pulang." Kageyama menghembuskan nafas lega, "Yokatta, kalau begitu aku tutup dulu telfonnya. Oyasumi [Name]."

"Oyasumi."

[Name] memandang jalanan luar yang terpajang pada trotoar yang ia pijaki sekarang. Gadis itu belum pulang, ia masih membiarkan pikirannya berkelana. Karena mungkin jika ia pulang, maka pikiran negatifnya akan memakan otak gadis itu. "Ia berfikir seolah semua akan baik-baik saja."

Ia memakai kemejanya, selagi tangan kanannya yang sibuk menekan papan keyboard ponsel. Menata rambutnya dan membuat cepol disana. Alisnya menaut kala mendengar pintu apartemennya terbuka,

"[Name]?" Itu Kageyama. Berdiri diambang pintu kamar gadis itu dengan hoodie serta kacamata. Kageyama melepas kacamatanya serta tudung hoodienya, netra biru gelapnya menilik [Name] yang sedang duduk didepan kaca meja rias "Kau akan pergi kerja?"

Terhitung sudah tiga bulan ia menjadi pegawai magang disuatu perusahaan, Kageyama tahu itu karena gadisnya membicarakan apapun tentang hari-harinya ketika bekerja.

Netranya melirik sekilas lantas mengangguk tanpa memandang pemuda itu "Um."

Jeda beberapa menit, Kageyama berdiri dibelakang gadis itu. Melihat pantulan dirinya dan gadis tersebut "Maaf aku–"

"Tobio, aku sering mendengarkan permintaan maaf." Mengatupkan bibirnya, Kageyama melirik bingkai foto dirinya dan [Name] pada saat mereka berkencan di Ueno Zoo.

"Kau tahu kata 'Maaf' sering kali diucapkan oleh seseorang, bahkan berulang kali. Tapi, setelah mengucapkan maaf apa orang itu akan benar-benar berubah?" [Name] berdiri, mengambil blezer hitam pada lemari memakai parfum pada ceruk leher.

Kageyama terdiam.

"Ketahuilah, aku tidak membutuhkan kata 'Maaf' Tobio–" Kageyama melihat punggung gadis itu yang menjauh, langkah lebarnya mendekati gadis sipemilik surai [h/c]. Berdiri di belakangnya tanpa mengatakan apa-apa. Figur yang sedang memakai sepatu pentofel dengan heels lima centi itu terlihat enggan menatap kebelakang. Hingga telinganya mendengarkan gumaman yang diakhiri pintu apartemen yang menutup,

"Aku hanya butuh kau mengerti perasaanku."

Kageyama berdiri tak bergeming dengan tangan yang mengepal erat, hingga buku jari yang memutih. Hahh, ini salahnya.

Ia duduk pada bis yang sedang melaju, matanya terus memandang jalan sesekali luncuran nafas lelah itu keluar. Ia memijit pelipisnya kala pening serasa meremas kepala.

Berfikir apakah ia harus terus memakluminya? Kageyama Tobio— pemuda itu jarang sekali menghubunginya, atau bahkan sekedar mengabari. Baiklah, ia mengerti kesibukan yang dialami pemuda dengan surai hitam itu. Hanya saja dulu gadis tersebut mengingat perkataannya bahwa ia akan tetap menunggu Kageyama jika memang ia menghilang nantinya.

Sayang sekali, walaupun berkata seperti itu. Tetap ia menelan ludahnya sendiri, sering kali [Name] merasa bahwa hubungan ini terus berubah. Bukan kearah yang lebih baik.

Kencan yang saat itu Kageyama janjikan namun dibatalkan tiba-tiba. Membuatnya menunggu tanpa kabar pasti, apa benar hubungannya sudah tidak baik-baik saja?

Lalu, dimana titik salahnya?[]

━━━━━━━━━━━━━━━━━

Ukiyo, Aug 29th 2020

𝐅𝐔𝐘𝐔𝐍𝐎𝐇𝐀𝐍𝐀𝐒𝐇𝐈 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang