༄Dai Juu Shi Fuyu

366 63 3
                                    

MALAM semakin larut, membuat mahluk nokturnal memiliki aktivitasnya masing-masing, Ia terbangun dengan peluh menetes pada pelipis, mimpi buruk yang terus terulang sejak kemarin hingga hari inipun tak luput dari pikirannya.

Terasa sangat jelas.

Kalut.

Takut.

Ia mengambil mantel tebal yang menggantung pada Hanger dalam kamarnya, netranya bergulir menatap jam yang terpaku pada dinding.

Tokyo, Jepang pukul 22.00 Malam.

Bergegas mengunci pintu lantas langkahnya membawa tubuh itu pergi dari apartemen.

Pikirannya berkelut, netranya terus menatap jalan yang ia pijaki. Dingin. Bahkan hampir menusuk tulangnya. Bibirnya terkatup rapat. Kota Tokyo pada malam hari masih terlihat terang, bulan purnama diatas membantu dengan sinarnya,

"Ja oremo tameni shinu ru no?"

Segelintir kalimat terucap tajam oleh sang indera pengucap. Bahkan tidak percaya bahwa bibir itu berkata demikian, ada yang berkata bahwa benda yang paling tajam bukanlah sebuah pedang ataupun pisau terasah ratusan kali tapi lidah manusia.

Nafasnya memburu saat tubuhku sudah sampai tepat di depan pintu apartemen. Netraku mengerling melirik kanan serta kiri, kedua tangan sedikit gemetar. Ah sialan, pusing. Aspirinnya sudah berhenti bekerja sepertinya.

Kakiku mantap melangkah, walaupun kepala pening bukan main kala mimpi buruk terus terulang memainkan otak. Jari telunjuk menekan beberapa tombol password disana berharap bahwa orang itu tidak menggantinya.

Kala pintu terbuka hanya menampakan lampu ruangan yang tidak dimatikan. Jantungnya terus berpacu dengan cepatnya, bahkan kini peluhnya terlihat disekitar pelipis.

Aku tidak memperdulikannya, yang ia tuju hanyalah Dia.

Membawa tubuhku menuju kamar dalam cahaya temaram karena celah gorden hanya tersinar bulan, perlahan aku membuka handle pintu bercat putih.

Gelap.

Bahkan keadaannya sama seperti aku masuk apartemen tadi. Mungkin ini sedikit lebih gelap. Rasa takutku tiba-tiba menyergap Mengirim desir kaku pada jemari tangan saat hendak menyalakan penerangan.

Berharap bahwa ini hanyalah mimpi buruk yang seperti sudah-sudah kualami sebelumnya,

Berharap bahwa ini hanyalah sebuah khayalan terburuk dalam pikiran,

Berharap aku akan terbangun dari mimpi kelam yang kini dirasakan.

Sayang apa yang dilihat kelereng mata sekarang adalah sebuah kenyataan yang seolah menampar, seolah jantung diremas oleh tangan tak kasat mata.

Cahaya kecil dari sinar rembulan sedikit membantu. Menuju tubuhnya, dengan langkah gemetar, dengan tangan terkepal, dengan mata yang menahan air agar tidak melesak keluar.

Tubuhku bersimpuh dengan kedua lutut menghantam lantai, netran tak lepas menatap tubuh yang kini tengah tertidur. Pucat seolah darah hilang sempurna dari tubuhnya,

Tidak, kumohon jangan.

Jangan tinggalkan aku.

Maaf.

Maaf.

Maaf.

Kumohon kembalilah. Kembalilah. Aku menyesali semuanya.

Apa yang dilihatku adalah tubuhnya yang tak bernyawa, matanya menutup dalam tidur damainya, senyuman yang hilang.

Kepala menoleh menatap kotak yang terbuka dengan foto-foto polaroid yang berserakan, tanganku terulur mengambil salah satunya.

𝐅𝐔𝐘𝐔𝐍𝐎𝐇𝐀𝐍𝐀𝐒𝐇𝐈 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang