SI pemuda berdiri menatap tajam "Kau tahu aku memberimu pesan beberapa puluh kali sejak kemarin namun ini yang kudapatkan?! Kau dengan pria ini?" Jari menunjuk wajah Miya pirang dengan nada dingin "Tobio bukan seperti itu aku—"
Kageyama mendecih "Lalu apa!" Atsumu yang memperhatikan menarik kaus si pemuda "Jaga bicaramu Tobio—" perkataannya terhenti kala pergelangan tangan dicekal serta gelengan kecil oleh siempunya. Atsumu yang hendak melontarkan kembali kalimat terhenti oleh cekalan yang sedikit mengerat.
"Atsumu pergilah. Biarkan aku menyelesaikan ini."
Atsumu mendecih, Miya pirang itu berjalan mendekati Kageyama, kedua netra saling bertabrak berkilat tajam "Kuberi tahu satu hal Tobio. Jangan sampai emosimu melingkupi pikiranmu, atau kau akan benar-benar kehilangannya. Dan jika itu terjadi maka aku akan mengambil dirinya, kembali. Ingat itu, karena kau tidak akan pernah pantas untunya."
"Atsumu!"
"Baiklah aku pulang, jaga dirimu [Name]." Masih sempatnya Atsumu mengusap puncak kepala gadis itu, sebelum benar melenggang pergi pemuda tersebut menatap [Name] dalam dan berkata "Tenanglah." Katanya yang berlalu pergi.
Kageyama menyugar surainya, berusaha meredam amarah "Jelaskan."
"Atsumu. Dia mantan kekasihku. Dia kemari dengan tujuan untuk meminta maaf atas kejadian sebab perpisahan kami."
[Name] mengusap lengannya yang sedikit dingin, ia melirik sekilas pada pemuda itu "Hubungan kami terlalu lancar hingga saat dia melakukan kesalahan fatal padaku." Memijat pelipis kala pening memasuki kepala.
"Lalu apa yang tadi kulihat?"
"Aku tidak bisa menyangkalnya Tobio. Maaf."
Keheningan menyelimuti, mengirim perang batin pada masing-masing insan. "Kau masih mencintainya?"
"Apa yang kau katakan? Aku sudah tidak—" perkataannya terhenti kala Kageyama memegang kedua pundaknya "Kalau tidak lalu kenapa kau tidak mencegahnya?! Kenapa kau hanya diam?! Kenapa kau menerima?!"
"Apa kau sudah tidak mencintaiku?" Kageyama tak pernah tau kalau rasanya sakit hati akan seperti ini, emosinya memuncak bahkan kilasan kejadian beberapa menit yang lalu masih bersilih berjalan diotak. Tangannya terkepal, rahang mengeras.
Jika saja, semua ingin terhapus dalam otaknya apa harus ia mengambil keputusan ini?
"Aku mencintaimu To—"
"Maaf, tapi aku tidak bisa bertindak seperti diriku yang saat itu." Buru-buru kepala si gadis menoleh, ia beranjak. Berdiri didepan pemuda itu "A-apa maksudmu?"
Sulit bukan untuk memaafkan? Hanya saja perasaan egoisnya melebihi seperti melambung tinggi hingga tak tertahan. Kala sang bibir berucap, menyilet hati perlahan apakah bisa semuanya akan baik-baik saja?
"Kita berakhir disini."
Sulit rasanya berdiri, berharap indera pendengarannya tak salah menangkap kalimat berharap otak memiliki praduga yang salah. Hanya saja, apa yang dilihat mata adalah sebuah kebenaran kala punggung itu menjauhi tubuh yang terdiam statis "Gomenasai." Hanya gumaman kalimat itulah yang terakhir terdengar dibarengi oleh pintu yang tertutup dan suara tanda terkunci.
Meninggalkan salah satu pihak yang tak menyetujui perihal perpisahan mereka.
Kedua tangannya ia masuk pada saku jaket yang ia kenakan, udara malam cukup dingin. Langkah terhenti menatap langit berbintang, isi kepalanya serasa ingin pecah seakan tidak menyangka bahwa kalimat itu akan keluar dari bibirnya. Bahkan otaknya masih mengingat wajah gadis itu yang dilingkupi awan kelabu.
Apa dengan begini semuanya telah usai? Hubungan yang mereka bangun serta kenangan yang tertulis oleh kedua tangan? Egois sekali, hanya memikirkan rasa kecewa dirinya sendiri namun tak memikirkan rasa kecewa hati yang lain.
"Tobio!!"
Dia menoleh menemukan gadis itu yang terlihat kacau. Surai berantakan, baju satin terusan hanya mengenakan cardigan, kedua mata yang sembab serta memerah.
"Tak bisakah kita memperbaiki hal ini? Aku tahu bahwa kejadian itu adalah salahku, aku tak ingin kehilanganmu." Ia tahu bahwa gadis itu tengah menahan dingin dibulan Desember tubuhnya gemetar bahkan kalimat yang diucapkan terdengar gemelutuk kecil.
"Aku mencintaimu Tobio. Hanya mencintaimu."
Kadang keegoisan dapat membutakan hati, sama seperti pemuda itu. Sebuah kalimat yang tak seharusnya terlontar namun darimana datangnya hasutan untuk tetap memisahkan, "Berakhir. Hubungan ini sudah berakhir."
Sulit untuk diterima akal, tangannya meraih punggung tangan Kageyama mengusapnya. Maniknya memburam, air mata yang jatuh melintasi pipi pualamnya. Kageyama mendecih, membuang muka. Tidak, ia tidak ingin melihat gadis itu menangis.
"Selama dua bulan belakangan ini aku selalu menunggu kabar darimu, aku menonton pertandinganmu pada TV, memikirkanmu Tobio. Aku mengerti bahwa kau selalu sibuk dengan urusan karir volimu dan aku berusaha memahami itu."
Tangannya dingin, kepulan asap keluar saat bibir kecil yang terlihat membiru melontarkan perkataan.
"Aku selalu mengkhawatirkan tentangmu, berharap kau makan dengan baik atau tidur dengan cukup, dan istirahat dengan sempurna. Tobio, kau adalah orang yang kuberikan seluruh hatiku."
[Name] mengusap punggung tangan pemuda tersebut dengan ibu jarinya, lantas menatap wajah yang masih membuang mukanya kearah lain "Aku mencintaimu, hanya itu yang ingin kukatakan. Tobio, apa yang harus aku lakukan agar memperbaiki hubungan ini?"
Memperbaiki? Apakah bisa? Saat hatinya dikecewakan seperti ini apakah ia bisa bertingkah selayaknya?
Kageyama, apakah kau tidak memikirkan perasaanya?
"Ja, ore mo tameni shinu ru no?"
Apa yang ia katakan? Tunggu. Bukan itu, kenapa bibirnya malah terkatup saat ia ingin melengeluarkan kalimat sanggahan?
Bibirnya tersenyum kecut, netra [e/c] terlihat redup bahkan sinar bulanpun seolah tak menembus kelereng matanya.
Tangan yang lain merogoh saku cardigan "Ini untukmu." Kageyama merasakan benda pada telapak tangan, ia menoleh menemukan kotak cukup sedang berwarna biru navy "Otanjoubi omedetou Kageyama. Aku harap segala keinginanmu tercapai dan menjadi pemain voli profesional yang lebih baik lagi. Aku selalu mencintaimu Kageyama." Kecupan terakhir pada bibir dingin menghantarkan rasa hangat. Namun, sebuah perasaan menyakitkan bercokol dalam kedua hati.
Merengkuh tubuh jangkung didepannya, memeluknya seolah tidak ada hari esok untuk melihat mata biru gelapnya. Ia akan merindukan hari bersamanya, merindukan caranya meminum susu kotak, merindukan bagaimana manisnya saat ia mengafeksikan diri.
"Lima menit, biarkan aku memelukmu untuk terakhir kalinya."
Kageyama hanya terdiam, memikirkan seluruh perkataannya. Benarkah ini keinginannya? Benarkah inu kemauannya? Kenapa ia tidak bisa mengerti bahwa gadis itupun sama sepertinya.
"Sayonara Tobio. Kuharap kau bahagia."
Matanya terus menatap tubuh terbalut cardigan rajut itu menjauh hingga menghilang pada tikungan, Kageyama terus terdiam berdiri stagnan pada tempatnya. Apa benar sudah berakhir? Hubungannya?
Kenapa dalam masih seolah terikat? Padahal sudah jelas-jelas sang bibir sudah berkata demikian, kenapa rasa sakitnya masih terasa. Satu butir salju turun diujung sepatu, ah ia ingat. Pertemuannya pun saat itu sedang salju, berarti sudah satu tahun? Dan sekarang sebuah perpisahannyapun sedang turun salju.
Apa ia menyesali sebuah titik ini?[]
━━━━━━━━━━━━━━━━━
Ukiyo, Sep 3rd 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐅𝐔𝐘𝐔𝐍𝐎𝐇𝐀𝐍𝐀𝐒𝐇𝐈
Fanfiction˚ ༘♡ ⋆。˚ 𝒌𝒂𝒈𝒆𝒚𝒂𝒎𝒂 𝒕𝒐𝒃𝒊𝒐 ↳completed. ❝tolong katakan padaku bagaimana aku harus menutup pintu hati ini?❞ Based anime song Given °Fuyunohanashi° ©𝐮𝐤𝐢𝐲𝐨. 𝐄𝐬𝐭 : 2020/08/11 ©𝖬𝖾𝖽𝗂𝖺/𝖿𝖺𝗇𝖺𝗋𝗍�...