Beranikan Diri

211 45 18
                                    

"Kenapa si Adit senyum sendiri?"

Fariz menoleh ke belakang, ke arah Praja yang menunjuk Adit yang sedang memegang ponsel di tangan kiri dan sepelastik seblak di tangan kanan, Adit menatap layar ponsel dengan senyum lebar penuh makna.

"Palingan chat dari kak Zahra."

"Kak Zahra kuliah di Bandung, kan? Jauh juga, ya. Untung Syafiqa satu kampus. Si Riska juga satu kampus sama kita."

"Tapi, gue udah susah ketemu."

Praja membuka botol minuman air mineral miliknya lalu meneguknya, setelah selesai meneguk ia kemudian berkata, "gue juga. Gak nyangka gue si Syafiqa dapat beasiswa kedokteran. Kan, feeling gue kuat. Itu anak calon orang berhasil. Si Riska, juga, gue gak nyangka dia mau jadi guru."

Fariz tersenyum simpul, "manusia bisa berubah, ja."

"Ini seblaknya, Fariz yang gak pedas. Praja super pedas. Gue sedang pedasnya, lu udah beli minumnya belum?" Adit duduk di tengah-tengah Praja dan Fariz. Setelah selesai tersenyum sendiri macam orang tak waras akhirnya Adit tersadar juga. 

Malam Minggu memang selalu ramai di lapangan Sempur, banyak anak muda yang menongkrong atau mengobrol. Biasanya, kalau sudah pukul sepuluh malam petugas memberi pengumuman untuk warga yang masih tinggal di Sempur untuk segera pulang.

Sepulang kuliah, Adit, Fariz dan Praja langsung pergi ke Sempur.
Mereka bertiga memilih untuk duduk bersila di lapangan rumput yang empuk sambil memakan seblak favorit.

"Udah, noh," Praja menunjuk minuman dingin milik Fariz dan Adit dengan mulutnya yang monyong.

"Gak sopan banget." Fariz menatap Praja sinis sambil mengambil minuman dingin miliknya.

"Jadi, gini," Adit membuka perbincangan, ia menyudahi sebentar aktivitas memakan seblak yang berhasil membuatnya berkeringat karena lumayan pedas.

"Hari Minggu kemarin, bokap sama nyokap gue ada acara reuni di kampusnya dulu. Gue dipaksa untuk ikut. Karena itu reuni keluarga. Yaudah, ikutlah gue. Sesampainya di sana, biasalah, yang diomongin kalau enggak pencapaian karir, harta, sama anak. Gitu-gitu aja. Terus sampai akhirnya di topik anak. Nyokap gue bangga-banggain gue di depan teman-temannya. Tapi, ada salah satu teman bokap nyokap gue yang nyeletuk setelah itu. Entah bagaimana dia bisa tahu. Dia bilang, gue sakit mental. Depresi. Ya, emang benar."

Dengan senyum pahit Adit lalu melanjutkan, "terus adalagi yang nyeletuk kalau gue trauma berat karena kejadian Riko dulu. Mereka bilang tahu itu dari koran, artikel. Memang, sih, kasus Riko sampai ramai. Jejak digital emang kejam. Dan setelah itu orangtua gue satupun gak ada yang bisa memberi pembelaan sama gue. Mereka cuma diam, dan pura-pura lupa sama omongannya. Gue langsung berlalu pergi. Orangtua gue sama sekali gak berusaha nyusul gue. Mereka cuma ngobrol sambil ketawa-ketawa sama teman mereka."

Fariz dan Praja yang mendengar cerita Adit hanya bisa terdiam, lalu saling melempar pandang.

"Dit, Buya Hamka pernah bilang, segala sesuatu yang baru pasti akan selalu mendapatkan penolakan. Karena kita sudah terlalu terbiasa dengan yang lama. Jadi, itu hal yang wajar. Tapi, selagi hal baru itu baik lagi benar. Ditambah lu punya niat yang mulia, tekad lu lurus. Yakin. Lu benar, gak usah peduliin. Mereka begitu karena mereka gak tahu. Mereka begitu karena mereka gak memahami. Mereka begitu karena sudah biasa dengan segala yang lama. Sedangkan, yang namanya belajar kita perlu untuk menerima segala yang baru."

Praja menepuk-nepuk pundak Adit berusaha menguatkan.

Adit tersenyum tipis, ia menatap Praja dan Fariz bergantian lalu mengacak-acak rambut Fariz dan menepuk pundak Praja.

K I T A : Trio Kucrut | TELAH TERBIT Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang