Stigma dan Memori

116 34 13
                                    

"Jadi, maunya papa apa?"

Raihan berdiri di hapadan Adit yang sedang duduk di atas sofa yang menghadap taman belakang.

"Berhenti menjadi relawan di dunia psikologi. Dan berhenti menulis tentang itu, kesehatan mental, atau apapun yang berhubungan. Sebenarnya papa juga tidak setuju kamu masuk jurusan ini. Mau jadi apa kamu nanti sudah besar? Sibuk mengurusi urusan orang, begitu?!"

"Jangan begitu, pa. Adit sudah melakukan yang terbaik. Berikan ia ruang untuk berkembang. Mama minta maaf kemarin-kemarin mama bukannya menghampirimu malah ikut tertawa dengan teman-teman," tambah mama sambil mengusap punggung Adit.

"Memangnya sehina inikah Adit? Sampai-sampai papa gak pernah mau memperkenalkan Adit kepada yang lain? Membuat pencitraan yang luar biasa tentang Adit agar Adit tidak terlihat hancur. Justru, hal inilah yang membuat Adit merasa hancur dan gak becus. Standar papa, papa paksakan untuk Adit. Itu beban buat Adit. Apakah salah seorang anak memiliki gangguan mental seperti Adit?"

Adit bangkit dari duduknya dan melihat ke wajah papanya dengan tatapan mata yang tajam lagi sengit.

Raihan menghela napas berat, "bukan masalah benar atau salah. Ini tentang kehidupanmu di masa yang akan datang. Itu yang papa pikirkan. Untuk saat ini, di masa kuliah. Mungkin kamu masih memiliki teman dan sahabat dekat. Ketika kamu sudah di dunia kerja? Lalu terjun langsung bertemu dengan masyarakat? Mereka akan menganggapmu aneh. Apalagi kalau tiba-tiba kambuh."

Adit terdiam sambil menghela napas nya cukup panjang, ia lalu memijat pundaknya sendiri pelan-pelan.

"Stigma, iya, kan? Itu yang papa takuti selama ini. Momok yang menakutkan memang. Dan Adit sudah lebih dari kenyang dilempari stigma itu. Dulu Adit berpikir pendam saja semuanya sampai mati. Tapi, ternyata cara itu tidak berlaku bagi Adit. Adit harus bisa memilih pilihan. Dan Adit memilih untuk tampil di depan dengan percaya diri. Pernah, gak papa mikir kenapa para penyintas kesehatan mental itu hampir sebagian besar tidak mau bercerita bahkan mungkin kepada keluarganya sendiri? Itu karena stigma di masyarakat yang mengatakan bahwa gangguan mental sama dengan orang tak waras. Bahwa, orang dengan gangguan mental itu berbahaya. Dan bahwa, orang dengan gangguan mental itu tidak memiliki kemampuan. Dicap bodoh, pemalas."

Adit lalu duduk kembali di atas sofa dengan wajah muram. Ia mengepal-ngepal kedua tangannya kuat. Kenapa papanya ini sulit sekali memahami apa yang Adit rasakan dan pikirkan?

Adit lalu melanjutkan, "bukannya mendapat dukungan. Mereka malah semakin terpuruk dan hancur. Belum lagi sering kita temukan orang-orang yang sedang berjuang sembuh malah dilecehkan, diledek, hingga dibully karena disangka mencari perhatian. Apalagi ditambah budaya dikte dan merasa saya yang paling tahu, dan budaya membandingkan penderitaan. Bagian paling buruk lainnya adalah, entah mengapa manusia saat ini terlalu banyak berbicara. Tapi, enggan mendengarkan."

Raihan terdiam tak percaya dengan ucapan Adit barusan. Begitupun dengan Ajeng. Mereka hanya bisa berdiri membeku lalu saling menatap wajah satu sama lain.

"Adit mau ke atas dulu," ucap Adit sambil berlalu pergi dari taman belakang rumahnya. Ia sudah lelah hati, percuma menjelaskan ini itu pada seseorang yang sejak awal memang tak ingin memahami.

📚📚📚

"Jadi, gue harus gimana?"

Fariz menepuk keningnya pusing, sore-sore begini ia didatangi oleh Shintya. Padahal tadinya ia ingin pergi ke rumah Adit. Ada sesuatu yang ingin ia bicarakan dengan sahabat karibnya itu.

"Itu bagus, kalau kedua orangtua lu udah tahu. Gak tepat kalau lu sendiri begini. Orangtua lu punya tanggung jawab terhadap diri lu. Bukan hanya materi, tapi, kasih sayang juga." Jawab Fariz santai.

K I T A : Trio Kucrut | TELAH TERBIT Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang