Kuat

111 33 12
                                    

"Gue orang biasa, apa yang gue dapatkan saat ini karena gue gila-gilaan berjuang. Karena belas kasih dan kemurahan Tuhan. Bukan karena gue punya hak istimewa. Gue gak punya itu, asal lu tahu!" Praja menelepon seseorang di teleponnya dengan penuh emosi.

Sebentar-sebentar ia memijat kening. Sebelah tangannya menaruh ponsel tepat di telinga kanan. Ia berjalan-jalan ke sana ke mari tak jelas. Adit dan Fariz yang melihat itu hanya terdiam. Menunggu Praja mengakhiri percakapan di telepon.

"Kenapa?" Tanya Fariz sambil menggeser posisi duduknya agar Praja bisa duduk di sampingnya.

"Biasa, bocah gila. Nyebar rumor di group komunitas Ababo. Gue di gosipin yang enggak-enggak. Dibilang punya privilege. Anak pejabat, anak orang kaya. Lucu, gue pengen ketawa dengarnya. Tapi lama-lama jengah juga karena mulai banyak yang kehasut. Tadinya gue cuek. Cuma ini udah keterlaluan. Seolah-olah segala pencapaian gue saat ini adalah karena hak istimewa itu. Emangnya gue apaan!" Praja emosi sambil melempar bola basket di hadapannya ke depan lapangan.

Fariz menepuk pundak Praja sambil melihatnya simpati.

"Mereka lucu, terlalu hitam putih mikirnya. Memangnya kenapa kalau kaya? Salah gitu? Toh, yang kaya juga bokap nyokap. Bukan kita. Dan kaya itu bukan selalu berarti jahat dan serakah. Miskin juga bukan selalu berarti hina dan murah. Polarisasi gak sehat, nih, emang. Jadi banyak orang yang kejebak. Termasuk gue sendiri masih suka kejerat kadang. Bicara soal hak istimewa, okay, ada orang yang lahir dengan pendidikan yang baik, keluarga yang mampu, relasi yang luas. Sehingga mempermudah karirnya, lebih mudah bergerak dan berani mengambil resiko apapun karena selalu ada tempat untuk memulai lagi. Itu fakta, kita gak bisa menyangkalnya. Dan gak masalah, selagi tidak disalahgunakan. Ada juga orang-orang yang dilahirkan tidak dengan hal-hal itu. Tapi, mereka tetap bisa dan mau untuk berjuang. Jangan terlalu ekstrem lah mikirnya. Semua ada porsinya, berdiri di tengah aja. Itu yang terbaik," terang Adit panjang lebar.

"Gue setuju kalau itu, gue benci miskin. Makanya gue begini. Berjuang, gak cuma ngeluh. Dapat apa kalau cuma ngeluh? Apalagi dengki sama orang," Praja bangun dari duduknya dan berdiri sambil meregangkan kedua lengannya ke atas.

Ia memutar tubuhnya ke arah timur dan mendapati seorang wanita cantik sedang berdiri mematung di belakang mereka dengan senyum canggung. Ia mengenakkan jacket jeans oversize dan pasmina berwarna mocca. Tunggu? Praja pernah melihat wanita ini dimana, ya? Ah, Fariz! Ia buru-buru menghampiri Fariz dan menyuruhnya bangun dari duduk.

Fariz menoleh ke belakang dan melihat ke arah wanita itu.

"Ada apa?" Fariz berjalan menghampiri Shintya santai.

Shintya menundukkan kepala, kedua tangannya mengepal keras lalu meremas rok hitam yang ia kenakan.

"Gue bingung, mau pulang kemana," ujar Shintya akhirnya berani. Tapi ia belum berani menatap Fariz.

"Iya, terus?" Fariz menunduk berusaha melihat wajah Shintya yang berusaha membuang mukanya begitu Fariz ingin melihat wajahnya.

"Dua hari ini aja," tambah Shintya sambil menunjukkan kedua jari tangannya yang kurus.

"Iya, apa? Langsung aja ke intinya," ujar Fariz mulai kesal.

Ia sudah menduga pasti Praja dan Adit setelah ini akan meledeknya.

"Gue boleh nginep di rumah lu, gak? Dua hari ini aja," akhirnya Shintya mengucapkannya juga.

Fariz menghela napas berat, lalu tertawa kecil, "lu kira ini drama korea? Seenaknya lu berbuat ini itu? Gue bukan oppa-oppa korea di drama yang berbaik hati. Lu punya pikiran, gak? Lu cewek, gue cowok. Lu benar-benar gak punya teman? Lu bohong, ya? Lu cuma mau nyari perhatian aja, kan?"

K I T A : Trio Kucrut | TELAH TERBIT Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang