Khawatir

229 51 22
                                    

"Lu dengar kasus mahasiswa yang kemarin panas itu, gak?" Tanya Praja sambil sesekali membenarkan hoodie oversize yang ia kenakan.

"Apaan? Yang mana?" Fariz menoleh dan menatap Praja dengan tatapan heran.

Adit hanya terdiam, melihat kedua sahabatnya berbicara dari ujung lapangan basket kampus. Ia hanya duduk berselonjor sambil menatap luas ke lapangan yang sudah mulai sepi.

"Itu, lho. Nyuap, nyuap dosen. Dia juga malsuin sertifikat penghargaan dia selama ini ternyata. Tapi, gue gak heran, sih. Soalnya itu anak orangtuanya berpengaruh alias punya jabatan di Indonesia." Ujar Praja lalu merebut bola yang Fariz dribble dengan cepat barusan.

Fariz hanya mendengus dan sudah lelah, ia memang tidak pernah bisa handal di bidang olahraga. Konyolnya, ia menantang seorang atlit profesional. Ia dan Praja sedang bermain basket di lapangan kampus yang mulai lengang, sebab, jam pulang sudah lewat 20 menit yang lalu.

"Wahahaha, udah gak aneh di tanah kita ini yang model begitu. Gak kaget lagi gue. Moga masyarakat bisa kritis, ya. Jangan asal bela atau nelen informasi bulat-bulat. Kayak kasus bocah SMA beberapa bulan yang lalu itu. Yang viral, melakukan pelecehan seksual. Malah dianya dibela karena good looking, punya fans lumayan banyak. Coba, deh, kalau pelakunya yang gak good looking. Pasti dikata-katain. Dia itu macam apa, tuh namanya? Selebgram, iya, dia itu selebgram." Timpal Fariz berjalan menuju pinggir lapangan dan duduk di samping Adit yang masih terdiam sambil memperhatikan lapangan.

"Lu juga, kan, selebgram! Kita bertiga selebgram. Followersnya udah K." Gantian kini Praja yang berjalan mendekati Fariz dan Adit yang sudah duduk santai.

Fariz malah sengaja berbaring sambil mengipas-ngipas wajahnya yang basah dan dipenuhi keringat. Praja, dengan tidak ada akhlaknya langsung membuka hoodie, dan kaos hitamnya. Ia hanya memakai kaos dalam oblong lalu berbaring di samping Fariz.

"Apa pentingnya, sih, followers yang banyak? Toh, gue juga gak pernah minta mereka follow gue." Fariz, dengan jawaban sinisnya seperti biasa. Adit yang mendengar itu hanya tersenyum simpul.

"Penting, itu untuk memperluas jaringan relasi dan koneksi. Kita tetap butuh, Riz. Apalagi di zaman serba digital kayak sekarang. Kalau kita punya relasi dan koneksi yang luas, kan, mempermudah kita untuk misal berbisnis atau mengenalkan karya kita," Praja menjelaskan dengan raut wajah yang terlihat serius.

"Iya, sih. Lu bener juga. Semalam gue tiba-tiba mikir, kenapa hoax begitu tumbuh subur di negeri ini. Realita, gue terima. Kalau saat ini banyak manusia yang udah kekenyangan makan. Ini analogi, ya, maksud gue sekarang manusia kayak gak peduli apa yang masuk ke dalam isi kepalanya. Segalanya dimasukin, segalanya harus tahu dan update. Gak apa, gak masalah. Cuma buat gue keliru. Kalau semuanya dimasukin, emangnya lu tong sampah? Kenyang doang tapi gak sehat buat apa?" Fariz menyerocos panjang kali lebar kali tinggi, jari-jari tangannya yang panjang mulai menyisir-nyisir rambut hitam legamnya yang basah dengan keringat.

Praja menoleh melihat ke arah Fariz sambil tertawa lalu tersenyum, "ini bocah satu kalau ngomong gak pernah gak pedas, ya. Gue heran. Dit, lu nemu manusia model gini dimana? Museum purbakala, bukan?"

Adit tak bergeming, ia kini malah sedang sibuk memperhatikan sekelompok anak teater di lapangan sebelah yang sedang berlatih pementasan.

"Lu kalau ngomong ngalor-ngidul. Gue padahal lagi ngomongin apa lu nyambung kemana, Riz. Terlalu luas cakupannya. Kalau ngomong, tuh, kudu berkonsep. Jangan abstrak gitu," Praja lalu tertawa sambil memegangi perutnya.

Praja mulai terbiasa dengan model percakapan macam itu jika ia berbicara dengan Fariz. Mungkin, karena Fariz pengamat sejati, ditambah kutu buku tulen. Jadi, pasti, selalu banyak bahan pembicaraan atau pikiran-pikiran yang berseliweran di kepalanya.

K I T A : Trio Kucrut | TELAH TERBIT Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang