Konfrontasi

89 31 10
                                    

"Beneran tempatnya di sini?" Adit memandang ke sekitar. Saat ini mereka bertiga ada di sebuah caffe dengan arsitektur minimalis dalam sebuah mall yang cukup terkenal di daerah Bogor.

"Iya, dia bilang gue suruh tunggu di sini. Kita tunggu aja." Jawab Praja dengan mata yang terus mengawasi sekitar.

Praja sengaja memilih tempat duduk paling depan dan lebar untuk pertemuan mereka. Bukan, ini bukan pertemuan organisasi atau komunitas. Tapi, pertemuan Praja dengan tersangka penyebar rumor itu.

Akhirnya, kak Irhas berhasil mengidentifikasi siapa saja dalang di balik cyber bullying dan rumor ini. Praja, begitu diberitahu siapa orangnya sempat merasa terkejut. Tetapi, ketika Praja mengingat betapa buruknya hubungan ia dengan seseorang itu. Praja menjadi sadar diri.

Ia lalu memberitahu kepada Adit dan Fariz, Adit sama sepertinya begitu mendengar nama orang itu merasa terkejut namun juga tidak merasa aneh. Ia sadar diri, hubungannya dengan seseorang itu pun di masa sekolah amatlah buruk.

Kali ini Praja dan Adit sudah berniat baik, tidak akan menggunakan yang namanya kekerasan. Sudah cukup, masa lalu kelam itu telah berakhir. Dan memang harus dikubur dalam-dalam.

"Ingat, ya, kalian berdua. Jangan mudah kepancing emosi. Itu justru maunya dia kalian emosi tuh. Kita juga gak tahu, kan? Siapa tahu dia ajak temannya yang lain juga dan merekam dari jauh apa aja yang kita lakuin dan bicarakan. Pokoknya, jaga sikap dan omongan." Nasihat Fariz bijak sambil menepuk-nepuk pundak Adit dan Praja bersamaan.

Mereka berdua mengangguk pertanda mengerti.

"Eh itu," pekik Fariz membuat Adit dan Praja melihat ke satu arah di ujung timur.

Akhirnya datang juga.

"Wah! Sudah lama tak jumpa, ya. Halo pembuat onar!" Ucap Rei sambil tersenyum sinis sembari duduk sembarang di sofa caffe dengan kaki yang bertumpang sombong. Ternyata Rei juga membawa banyak teman.

Adit dan Praja dibuat terheran begitu melihat dua meja di samping kursi mereka dipenuhi dengan teman- teman yang Rei ajak.

Adit dan Praja menatap kedua mata Rei dengan tajam.

"Oh, iya. Halo anak teladan!" Sapa Rei sambil menepuk pundak Fariz sambil tertawa.

"Gimana? Enak, kan? Gue ajak kalian ketemu di tempat yang mewah dan berkelas. Kita bukan lagi anak kecil yang ketemuan di rumah kosong atau lapangan. Main tangan? Ugh, kotor. Kita bisa bicarakan ini baik-baik di sini." Ucap Rei begitu angkuh dengan kedua mata yang menatap remeh ke arah Adit dan Praja.

Praja terlihat menahan gemeretak giginya dan mengepal kedua tangannya kuat-kuat. Menahan aliran emosi yang mulai datang.

"Oh, iya. Gue dengar, kalian bertiga udah gak berulah lagi di kampus. Gue pikir kalian masih sama. Ternyata, kalian banyak berubah, ya? Gue juga. Ngomong-ngomong sekarang gue jadi seleb. Dan caffe ini punya gue. Hasil kerja keras gue. Gimana? Kalian udah punya apa aja? Apa masih minta sama orangtua?" Rei melihat ke arah teman-temannya yang banyak itu lalu tertawa bersamaan dengan nada yang meledek.

"Bisa langsung ke topik pembicaraan, gak? Gue gak ada waktu, sibuk." Ujar Praja sambil menatap tajam dan dalam ke arah Rei.

"Lho? Sabar, dong! Kita belum kepada intinya. Lu ingat apa yang lu lakuin ke gue dulu? Nih, ini pipi gue sampai bonyok, dan ujung bibir gue sobek karena tangan kotor lu itu. Lu pikir gue udah lupa? Gue masih ingat semuanya. Terutama lu Praja. Gue pengen banget lu hancur sehancur-hancurnya! Berani-beraninya  orang kelas bawah kayak lu nantangin gue yang jelas-jelas ada di atas lu!" Rei berdiri sambil menunjuk wajah Praja dengan kedua mata memerah dan gemeretak gigi emosinya.

Praja tersenyum sinis, "kelas bawah? Kelas atas? Itulah kenapa lu gak pernah bisa belajar, Rei. Lu pikir hidup sesempit yang lu polarisasi itu? Bodoh! Lu cuma lagi nipu diri lu sendiri. Tolol, benar-benar tolol."

Rei menggebrak meja dengan kencang.

"Lu jaga mulut busuk itu! Gue gak akan mau ambil jalan damai sama lu, Praja."

"Bentar, Rei. Dari yang gue lihat, lu bersikap seolah lu udah sukses dan berhasil dalam hidup lu. Tapi, sebenarnya itu hanya ilusi. Kalau emang lu udah berubah sekarang, kalau emang lu udah sukses dan berhasil. Kenapa lu masih belum bisa lupain kejadian dulu, ha? Bukannya itu tanda kegagalan lu, ya?" Ceplos Adit sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada.

Rei menatap ke arah Adit dengan kedua mata yang melotot.

"Okay, gue akuin lu sekarang meroket. Sampai bawa masa segitu banyaknya. Dan gue akuin, gue salah. Gue dan Adit salah. Kita bersalah karena memakai kekerasan dulu. Dan lu benar soal tangan gue dan Adit kotor dulu. Jadi, gue minta maaf soal itu."

"Iya, Praja benar. Gue akuin keberhasilan lu, Rei. Dan selamat atas semuanya! Gue juga minta maaf soal kejadian dulu. Gue tahu gue salah. Gak seharusnya gue memakai cara kotor seperti itu dulu. Kejadian itu pasti membekas dan membuat lu jadi marah. Dan gue tarik ucapan gue barusan soal kegagalan lu."

Fariz menatap ke arah Adit dan Praja, skenario macam apa ini? Apa mereka berdua janjian? Pikir Fariz bingung.

Rei yang melihat dan mendengar perkataan Adit maupun Praja pun sama bingung dan herannya. Apa-apaan ini? Mereka berdua minta maaf? Tidak seharusnya begitu, Rei ingin sekali memancing mereka berdua agar marah dan emosi. Tapi, kenapa semuanya tidak berjalan seperti keinginannya? Kacau! Rei jadi kesulitan sendiri. Apa yang harus ia lakukan selanjutnya?

Rei bangkit dari duduknya lalu menatap Adit dan Praja dengan tajam dan berlalu pergi diikuti teman-temannya yang lain.

Melihat punggung Rei semakin kecil menjauh, Praja dan Adit menarik napas lega. Lalu, mereka saling melempar senyum penuh arti.

"Apa itu barusan? Apa gue gak salah lihat?" Ucap Fariz masih terkejut.

"Kalian berdua rencanain ini, ya?"

"Enggak, kok," Jawa Adit dan Praja bersamaan.

"Terus, kok, kompak gitu, sih?" Fariz masih heran.

Adit melempar pandangannya ke arah Praja, Praja tertawa kecil sambil mengacak-acak rambut Adit.

"Feeling aja," jawab Adit dan Praja bersamaan, lagi.

Fariz merinding, bulu kuduknya bergidik, "ih, benar-benar ya kalian."

"Simpel, sih. Praja ingin pertemuan ini gak dikotori dengan kekerasan. Gue bisa baca dari cara dia tadi nahan emosi berkali-kali. Lalu, isi ucapan dia mengarah pada perdamaian. Praja memilih mengalah, dari tiap ucapannya gue bisa memahami. Jadi, yaudah gue pun sebagai sahabat yang baik ikut aja. Lagian kalau dipikir-pikir gue sama Praja dulu memang gak beradab banget. Gue malu dan ngerasa bersalah juga dulu udah sering makai ini tangan buat mukul orang." Terang Adit panjang lebar.

"Sadar lu, ya? Syukurlah. Gue berbahagia untuk kalian berdua. Akhirnya insaf juga. Walau tadi gue pengen ketawa lihat wajah Praja yang merah banget nahan emosi. Kakinya juga gak bisa diam, gerak-gerak gelisah mulu." Ceplos Fariz lalu menjitak kepala Praja sambil tertawa.

"Iya, gue gak bohong. Badan gue tadi panas banget. Gue gak kuat, sumpah. Tapi gue tahan lagi karena gue gak mau kayak dulu lagi. Apa-apa diselesain sama tangan dan kekerasan. Gue gak mau gitu lagi. Walau ini gak gampang, bukan berarti gue gak bisa. Gue baru aja coba, dan Alhamdulillah nya berhasil. Adit benar, gue juga ngerasa bersalah atas kejadian dulu. Gue suka merinding sendiri, kenapa gue semudah itu mukul dan nendang orang sampai bonyok." Jawab Praja sambil mengusap-usap tengkuknya yang merinding.

"Bagus, dong! Kalian benar-benar udah berubah sekarang. Gue harap kalian tetap seperti ini, ya!" Fariz menepuk pundak Adit dan Praja bersamaan.

"Iya, semoga."









📚 Bersambung 📚

K I T A : Trio Kucrut | TELAH TERBIT Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang