Itu Lebih Jahat

95 32 11
                                    

Daripada kamu terlalu sibuk dengan diagnosa. Lebih baik kamu belajar mengenal diri sendiri dengan baik. Kamu harus mulai terbiasa hidup berdampingan dengan lukamu. Lama-kelamaan semua hal yang menyakitkan itu akan membantumu untuk terus tumbuh dan bermanfaat. Belajar untuk pasrah pada-Nya. Ini adalah obat untuk jiwa dan hati.

Adit terdiam lalu meletakkan ponselnya di atas meja. Selepasnya, ia kemudian menutup email yang ia buka beberapa detik yang lalu. Benar apa yang dikatakan Profesor Sahrom. Belakangan, semenjak keadaan Adit semakin memburuk. Adit dikhawatirkan dengan diagnosa. Alih-alih ia belajar untuk tenang dan berdamai dengan dirinya sendiri.

Adit menghela napas sambil melenturkan sendi lehernya. Nampaknya ia terlalu tegang, sampai-sampai pundaknya mulai terasa pegal lagi. Ya, benar, Adit harus lebih memperhatikan dirinya sendiri. Sudah cukup ia mempelajari banyak hal tentang sakitnya. Kini saatnya ia peduli dengan jiwa dan hatinya yang perlu untuk diobati segera.

Berita baik datang tepat satu hari yang lalu. Kedua orangtua Adit mulai memberikan ruang kebebasan bagi Adit untuk sibuk mengejar impiannya. Apalagi kalau bukan menjadi seorang psikolog yang banyak membantu masyarakat. Adit jadi teringat kata-kata bijak Buya Hamka, bunyinya begini kurang lebih, 'manusia tidak hidup untuk dirinya sendiri. Tapi, ia hidup untuk masyarakat.'

Kedua orangtua Adit menyadari bahwa anak seusia Adit sedang dalam masa mengecap manisnya apa itu idealisme. Ayah Adit merasa bangga begitu mendapat laporan bahwa anaknya membantu banyak di perkuliahan. Adit aktif dan semangat dalam belajar, ia pun tak segan membantu dosen dan teman-teman. Sampai-sampai ia ditunjuk menjadi salah satu asisten dosen di kampusnya dan mengisi perkuliahan untuk mahasiswa dan mahasiswi tingkat bawah.

Memang benar adanya, kedua orangtua harus pandai dalam mendidik anak. Mereka harus mampu mendidik anak sesuai bidang yang dikuasai. Ibarat burung yang terbang, tidak mungkin dipaksakan untuk memanjat pohon. Tidak akan bisa. Seorang anak yang berhasil adalah mereka yang mampu hidup dengan mandiri dan bermasyarakat. Bukan selalu tentang nilai-nilai dan pencapaian.

Perlahan namun pasti masalah Adit satu-persatu terselesaikan. Ia tak menyangka kekuatan berserah hingga sebesar ini. Adit sudah terlalu lelah bergerak. Ia harus belajar untuk berserah. Ia tak menyangka bahwa ternyata untuk berserah, dirinya pun harus belajar. Adit pikir, untuk melakukan hal itu tidak perlu kemampuan. Ternyata ia memerlukan pembelajaran.

Hubungan Natasya dan ibunya kembali membaik. Begitupun dengan Shintya dan orangtuanya. Semuanya, satu-persatu terselesaikan.

Tapi, ada satu masalah yang entah sudah dipasrahkan pun belum juga membaik. Sudah dua hari ini Adit dan Fariz berusaha berbicara dengan Praja namun lelaki bertubuh tinggi tegap itu selalu menghindar. Kalau tidak menghindar, ia selalu berasalan sibuk latihan dan ada jadwal pertandingan.

Dan hari ini Adit dibuat sedikit pusing karena masalah itu. Ada apa sebenarnya? Apa yang telah terjadi pada Praja?

"Dit!" Teriak Fariz dari balik pintu ruang kelasnya.

Dengan sigap Adit memakai ransel dan berlalu keluar kelas.

"Sekarang?"

"Iya, yuk! Pokoknya jangan sampai lepas. Terserah dia mau beralasan apalagi. Kalau gak gini, bisa-bisa makin salah paham. Lu tahu sendiri, kan, selain lu, Praja juga tempramen."

Adit mengangguk pertanda mengerti, mereka berdua pun akhirnya berlari menuju aula dan pergi menuju fakultas Praja. Begitu mereka sampai di kelas, Praja tidak ada. Pasti ada di lapangan basket belakang. Begitu mereka sampai di sana, Praja pun tidak ada.

Adit terdiam, ia berusaha untuk memikirkan sesuatu.

"Perpustakaan."

Adit dan Fariz lalu berlari menuju perpustakaan. Benar dugaan Adit, Praja ternyata sedang duduk tepat di hadapan jendela besar perpustakaan dengan tatapan mata yang kosong lagi hampa.

K I T A : Trio Kucrut | TELAH TERBIT Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang