Temu

95 32 8
                                    

Adit melihat gerbang sekolahannya dengan senyum lebar dan haru. Ia tak mengira beberapa tahun yang lalu ia banyak membuat ulah dan masalah di sini. Semakin dewasa, Adit akhirnya tersadar. Untuk lebih meredam emosinya sendiri. Ia ingat betul perkataan kak Irhas. Dahulukan akhlak sebelum ilmu. Dulu, ia mungkin memang anak yang jenius. Tetapi, bisa dibilang ia sangat minim didikan tentang tatakrama.

Adit baru belajar apa itu maaf, tolong, dan terima kasih semenjak Bu Aisyah mengajarinya. Ia baru memahami betapa pentingnya sikap santun dan ramah pada semua orang dari Praja. Dan ia belajar menghargai banyak hal lewat Fariz. Bisa dibilang semua pembelajaran tatakrama justru ia dapatkan dari lingkungan sekolah dan sahabatnya. Hal-hal yang diajarkan oleh orangtuanya hanya soal belajar, menjadi lebih unggul, angka-angka, kebanggaan dan segala hal yang akhirnya membentuk diri Adit menjadi angkuh.

Adit paham betul, menjadi orangtua bukanlah perkara mudah. Menjadi orangtua adalah salah satu hal tersulit yang pernah Adit ketahui. Karena alasan itulah ia belajar memaafkan kedua orangtuanya. Walau bagaimanapun ridho Allah, ada di ridho orangtua.

"Yuk! Masuk!" Ajak Praja sambil merangkul Adit dan Fariz bersamaan.

Mereka bertiga pun berjalan masuk ke dalam. Sesampainya di dalam trio kucrut itu memandang luas penuh takjub. Ternyata sekolah mereka sudah mengalami renovasi lagi. Lebih rapi dan bersih. Dan tentu, lebih modern.

"Kebiasaan, nih, emang. Kalau kita udah keluar sekolah bagus. Kebagian bayarnya doang. Tapi menikmatinya enggak," ceplos Praja lalu tertawa renyah diikuti Adit dan Fariz.

Di saat mereka bertiga sedang asyik-asyiknya melihat sekolah. Datang seorang pria berkacamata tinggi dari arah belakang.

"Assalamualaikum! Apa kabar?"

Adit menoleh ke belakang, diikuti Fariz dan Praja. Seketika binaran mata mereka berubah menjadi semangat.

"Pak Rasyid! Wa'alaikumusallam, Alhamdulillah baik, pak!" Jawab mereka bersamaan lalu bergantian mencium tangan Pak Rasyid.

Rasyid mengusap kepala ketiga muridnya itu sambil tersenyum manis.

"Bapak kira kalian udah lupa sama sekolah."

"Mana mungkin lupa, pak! Kita tukang bikin onar juga, kan, di sekolah," jawab Praja sambil terkekeh.

"Bapak bagaimana kabarnya?" Tanya Fariz sambil menatap lawan bicaranya itu.

"Alhamdulillah baik dan sehat. Oh, iya, kalian tunggu di sini, bisa, kan? Jangan kemana-mana dulu, ya!" Ucap Rasyid sambil berlari menuju ruang guru.

Adit, Fariz, dan Praja melihat ke sekitar sambil menunggu pak Rasyid kembali. Ia lihat beberapa murid di kelas menatap mereka dari jendela sambil tersenyum. Adit membalas senyum itu dengan ramah, begitupun Fariz. Sedangkan Praja si manusia santuy, melambaikan tangannya hangat sambil tersenyum lebar.

Mereka bertiga memang terkenal di sekolah. Selain dikenal tukang buat onar, mereka pun terkenal karena prestasi dan keberaniannya. Memang benar guru dan sekolah hanya akan mengingat siswa yang senang membuat onar dan siswa yang berprestasi. Dan anehnya mereka bertiga mendapat dua gelar tersebut, yang saling bertolak belakang.

"Bu Aisyah! Apa kabar, Bu?" Praja terkejut begitu melihat Bu Aisyah sudah berdiri di belakangnya. Fariz dan Adit memutar tubuhnya dan melihat guru BK kesayangan mereka itu.

"Alhamdulillah baik, kalian apa kabar?" Tanya Bu Aisyah dengan senyum ramah khasnya.

"Alhamdulillah baik dan sehat Bu,"

Rasyid dan Aisyah saling menatap satu sama lain lalu tertawa kecil. Adit yang melihat itu merasa heran dan sedikit curiga.

"Minggu depan, hari Sabtu. Bapak dan Ibu mengundang kalian untuk datang ke undangan pernikahan. Kalian bisa datang, kan?" Rasyid memberikan tiga lembar undangan pada Adit, Fariz, dan Praja.

K I T A : Trio Kucrut | TELAH TERBIT Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang