Seharusnya Begitu

163 44 13
                                    

"Benar-benar kurang ajar!" Praja memukul lapangan aspal dengan kepalan tangannya yang kuat.

Napasnya terdengar berantakan, bukan hanya karena habis bermain basket. Tapi, lebih kepada emosinya sendiri. Kejadian kemarin sore benar-benar membuatnya kesal sampai siang ini.

"Gue benci begini terus. Apa perlu gitu gue balas dendam? Mereka pikir mereka siapa sembarangan buat karangan cerita. Gue harus lawan, ya, gue harus lawan!"

Praja lalu membuka kedua matanya yang tertutup dan terkejut begitu melihat Syafiqa sedang melihatnya dengan wajah polos. Spontan Praja berteriak. Bagaimana bisa? Berarti Syafiqa mendengar semua omongannya sedari tadi. Praja benar-benar malu.

Ia segera bangkit dari duduknya, dan berdiri sambil membelakangi Syafiqa.

"Lu sejak kapan di sini?"

"Sejak tadi," jawab Syafiqa sambil berjalan dan berdiri di hadapan Praja.

Praja menutup wajahnya dengan sebelah tangannya.

"Lu dengar apa yang gue omongin barusan?"

"Iya, dengar, kok. Apa perlu aku ulang lagi semuanya? Aku masih ingat."

"Gak perlu, aduh!" Praja hendak mencubit pipi Syafiqa namun ia buru-buru beristighfar dan menghentikan kelakukan konyolnya itu.

"Tadi aku gak sengaja lewat sini. Terus ngelihat ada orang aneh yang tiduran di lapangan siang hari begini. Aku khawatir aja, itu orang pingsan atau memang lagi tiduran. Takutnya dehidrasi. Jadi, ini, aku bawain kamu air mineral. Tapi ini gak ada manis-manisnya." Ujar Syafiqa membuat Praja mematung dan belakang lehernya memerah. Aneh memang, tapi begitulah Praja kalau sudah merasa salah tingkah dan malu.

Praja mengambil air mineral itu dengan gerakan tangan yang cepat karena salting.

"Makasih."

"Iya, sama-sama. Yaudah, aku pamit dulu, ya?"

"Tunggu, lu masih ingat gue?"

Syafiqa tersenyum simpul, "masih. Praja, kan? Makasih ya untuk semuanya waktu itu."

Praja semakin merasa panas, ia benar-benar merasa bahagia saat ini. Rasanya ingin terbang ke langit ketujuh. Mendapat ucapan terima kasih dari perempuan yang ia taksir sejak SMA sudah mampu membuatnya girang bukan kepalang. 

"Kenapa chat gue gak pernah dibalas? Lu gak suka sama gue?"

"Bukan, gak gitu. Aku benar-benar sibuk. Aku dapat beasiswa di sini. Jadi aku gak boleh malas atau bersantai. Aku takut aja nilaiku turun. Aku harus giat."

"Gue juga, kok. Kita sama. Tapi, beneran lu gak bisa santai sedikit? Hidup juga harus dinikmati, kan? Gue lihat kemarin sampai hampir malam juga lu di perpustakaan. Jangan terlalu memaksakan diri."

Syafiqa melihat wajah Praja karena terkejut, ternyata Praja memperhatikannya.

"Kamu juga, di lapangan terus sampai malam. Itu namanya apa kalau bukan memaksakan diri?"

Praja terdiam, ia tersenyum simpul dan lalu tertawa kecil.

"Tapi, lu baik-baik aja di sini? Gak ada yang ganggu lu, kan? Kalau ada bilang sama gue. Telepon gue. Walau chat gue gak pernah di balas sama lu."

Kini gantian Syafiqa yang merasakan hangat di kedua pipinya. Praja tidak banyak berubah, ia tetaplah seorang lelaki yang perhatian dan senang membantu.

"Alhamdulillah aku mendapat banyak kawan baik. Kita gak membeda-bedakan kelas atau apapun itu. Semuanya mendapat perlakuan adil. Dan gak ada yang ganggu aku, kok. Kamu sendiri gimana?"

K I T A : Trio Kucrut | TELAH TERBIT Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang