BAB 1 - The Midnight Embrace The Star

116 22 19
                                    

Di sebuah bukit dengan hamparan rerumputan yang hijau nan asri terlihat seorang anak berusia delapan tahun tengah menggiring biri-biri. Dengan batang kayu di tangan, anak laki-laki yang mengenakan kaos tanpa lengan itu mengombado gembalannya memasuki sebuah pagar kayu.

“Hei! Pertandingannya sudah mau dimulai!” teriak seorang anak laki-laki lainnya di seberang. Anak laki-laki yang tengah pengembala itu lekas menyudahi pekerjaannya, seketika ia berlari menghampiri.

Kedua anak itu bergegas meninggalkan bukit tersebut. Namun, belum jauh dari kepergian keduanya, pagar kayu tampak terbuka saat seekor biri-biri berjalan mundur menghantam pagar.

Di waktu bersamaan, balai desa ramai membicarakan pertandingan sepak takraw Tora kontra Thailand di final ASPL—Asian Sports Pro League. Di babak sebelumnya, Tora mengalahkan Indonesia dan Malaysia dengan kemenangan telak. Diperkuat deretan atlet kelahiran Hega, timnas sepak takraw mampu meningkatkan reputasi olahraga Tora yang sebelumnya tidak terlalu tercium media asing. Kalaupun ada, itu pun hanya dari olahraga bisbol juga kriket sebab beberapa turnamen latih-tanding dengan klub-klub Jepang dan New Delhi.

Kaki kecil dengan langkah bersemangat itu memasuki kerumunan orang-orang dewasa juga lanjut usia di balai desa. Layar proyektor menampilkan pertandingan yang baru saja hendak dimulai. Tepuk tangan meriah pun membuka laga, ketika suara pluit menggema di balai desa. Semua orang bersorak bahagia, menyambut datangnya sejarah baru Tora. Setelah satu dekade tidak ikut andil dalam ajang bergengsi olahraga seasia tenggara tersebut.

“Mau pasang berapa?”

“Pasang seperti kemarin.”

“Terlalu tinggi lah. Setengahnya saja!”

“Seri, seri, bagaimana kalau seri?” ucap anak laki-laki dengan wajah lusuh itu. Ia yang tampak bangga dengan ucapannya.

Seorang pria tua menempeleng kepala anak itu. “Jangan ikut-ikutan orang dewasa, pulang kau, mandi dulu kalau mau nonton. Jangan mengganggu kenyamanan orang-orang, badanmu bau, polomu juga mengintip, orang-orang yang mau menikmati camilan bisa kehilangan selera makan!” kata pria itu dengan tatapan memerintah.

“Tapi pertandingannya sudah dimulai!” protes anak laki-laki itu.

“Mumpung baru mulai, ayo, cepat mandi dulu. Kakekmu bisa marah kalau kau ada di sini dengan keadaan begini!”

Anak laki-laki itu mendesis lalu menyeka hidungnya yang terasa berair. “Baiklah! Aku akan pulang!” bisik anak laki-laki itu kecewa.

“Saga! Ambeksura Saga!” Sepasang mata biru jelak milik pria paruh memandang ke arah keramaian. Pria paruh baya itu berdiri dengan gagah. Wajah ramah dengan potongan rahang tidak terlalu tegas itu memirsa saksama. Tampak bibirnya melengkung saat anak laki-laki dengan mata serupa keluar dari keramaian. Pria berkulit putih tidak terlalu cerah itu berkacak pinggang.

“Saga, Ayah sudah katakan kalau tugasmu belum selesai tidak boleh pergi main!” ujar pria paruh baya itu lalu mendaratkan tangan di kepala anak laki-laki di hadapannya.

Saga Ambeksura, seorang anak laki-laki berusia delapan tahun. Pemilik mata biru jelak, warna mata yang khas dari warga Zerka. Rambutnya lebat berwarna hitam sabak yang berkilau tampak sehat dan terawat, dengan kulit berwarna putih agak kucal.karena belum mandi.

Saga, anak bungsu dari Aheya Ambekpati—putra tunggal dari pemilik perkebunan, pertanian juga perternakan terbesar di Zerka—Saheda Ambekdarma. Saga adalah cucu tercinta Saheda, pria tua berusia lebih dari delapan puluh tahun dan dianggap tetua oleh masyarakat sebab pengabdiannya pada alam Zerka. Ia yang menjaga kelestarian Sanghareupan, sebuah daerah penghasil pangan terhebat dan terpercaya di Zerka, yang diakui oleh keluarga kerajaan selama berpuluh-puluh tahun sejak generasi terdahulunya.

[TERBIT] The Midnight Embrace The Star | [SELESAI✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang