BAB 3 - The Midnight Embrace The Star

31 13 2
                                    

Steal!”

Suara Sabda yang ngebas, berat dengan aksen serak basah menggema di lapangan. Stadion Antarserka 1997 menjadi rumah bagi Serka menjamu Albathcroas 29, tim bisbol dari Kulipa, Ibu kota Provinsi Itya—sebuah daerah dari selatan Tora. Daerah dengan mata pencaharian utama adalah nelayan, pengolahan hasil kelauatan dan pengerajin tikar daun kelapa.

Kulipa daerah terbesar di Itya, di mana hampir seluruh wilayahnya di kelilingi perairan air hangat, dengan semua biota laut yang ada bisa dikonsumsi. Namun, pada tragedi beberapa waktu ke belakang, bencana tsunami kecil dan ekstremnya cuaca membuat beberapa aktivitas melaut berhenti, pendapatan daerah menurun dan berkurangnya distribusi hasil laut ke seluruh wilayah Tora. Bahkan, Itya harus mengimpor hasil laut dari negara tetangga.

Akan tetapi, hal itu tidak membuat warga berkecil hati. Dengan hasil kelautan yang didapat dari bibir pantai, ataupun tambak-tambak kecil juga lahan tembakau. Para nelayan mampu mengolah ikan menjadi ikan asin, olahan ikan asap, kepiting fermentasi, dan sejenisnya. Bahkan menjadi produsen gilingan tembakau kering terbaik untuk wilayah Provinsi Gewa dan Provinsi Dandami yang juga diekspor ke wilayah Macau dan Taipe.

Kembali ke pertandingan Serka 1997 juga Albathcroas 29 dalam laga The Rollicking : Tora Baseball Competition, para penjaga lapangan tengah Serka dengan siaga mengamankan pos mereka masing-masing. Nyaris tak ada celah untuk para pemain lawan untuk menerobos pertahanan.

Short stop and second base!” teriak Sabda sambil membuka masker pelindung wajahnya, ia mengarahkan telunjuknya ke penjaga di tengah lapangan. “Maju lebih depan! Two out!”

Bola dari tengah lapangan melambung ke arah plat pertama, tepat mengarah ke pemain nomor punggung lima. Sementara itu, plat kedua juga ketiga kosong. Setelah dua kali pemain lawan out, pola permainan agresif yang Sabda bangun membuat seluruh anak-anak Serka semakin ketat menjaga pertahanan. Nyaris tak ada yang bisa menyusup masuk ke plat kedua juga ketiga. Bola-bola lambung yang dengan mudahnya ditangkap di udara membuat permainan lawan ketar-ketir.

Double … out! Change!

Pemain lawan terkapar di depan plat kedua, dua jengkal tersisa rasanya untuk bisa berdiri di atas bantal putih yang sudah kotor bekas berbagai tapak kaki. Sedangkan di depan plat pertama seorang pemain Albathcroas hanya mematung linglung setelah lemparannya ditangkap dengan begitu mudah. Terasa seperti baru saja masuk lapangan, dan ia harus kembali ke bangku cadangan. Pemain itu mengumpat ke arah Sabda lewat manik matanya yang merah cerah khas masyarakat wilayah Itya.

Semua bersorak bahagia, permainan baru memasuki inning kelima dan torehan skor sementara masih empat untuk Serka dan kosong untuk Albathcroas. Memasuki inning keenam bagian atas, kini giliran Serka menyerang sebagai tim memukul.

Pelatih mengumpulkan anak-anak Serka dekat bangku cadangan. Semua pemain inti sudah bersiap sambil memegangi helm dan tongkat pemukul berbahan metal juga kayu kesayangan mereka masing-masing, termasuk Sabda sang pemain andalan di tim. Ia yang mengantongi nomor punggung satu.

“Urutan memukul masih tetap sama. Suuta kau akan jadi starter lagi. Setelah itu Nagara, Benuwa, dan Galaksi. Untuk ururan Clean up … Sabda, sepertinya aku harus menahan dirimu di inning ini.” Pelatih memandang wajah Sabda yang menatap aneh.

“Kenapa, Coach? Kenapa aku tidak dimainkan di inning ini? Apa kau ingin mengulur kemenangan kita? Maksudku, kita sudah unggul empat angka!” sulut Sabda protes dengan kerutan di dahinya.

“Pemain andalan mereka belum keluar. Aku hanya ingin kau memukul saat ia juga melempar!” ucap pelatih tersenyum picik. Hakku Danna, pria paruh baya berusia hampir lima puluh tahun itu menatap Sabda dengan tatapan membara.

[TERBIT] The Midnight Embrace The Star | [SELESAI✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang