Bab 7 - The Midnight Embrace The Star

14 5 0
                                    

Siaran televisi membuat Sabda naik pitam, pasalnya gembar-gembor berita dan legalisasi pernikahan sesama jenis yang Teria dari Partai Werst atau biasa dikenal dengan nama Partai W itu membuat seisi Tora memanas, alhasil pro dan kontra membuat beragam kerusakan. Sabda menyandarkan kepalanya di sofa, terlihat Saga memasuki ruangan tempatnya bersantai. Buru-buru Sabda mematikan televisi yang mengoceh sendiri.

“Lho, kenapa dimatikan? Aku juga mau nonton!” kata Saga dengan tatapan protes.

“Aku ngantuk.”

“Kalau ngantuk tidur, itu bukan urusan aku!” desis Saga hendak merebut remot dari tangan sang kakak. Sayangnya, Sabda yang punya refleks secepat kilat lekas menyembunyikan benda itu ke balik punggung.

“Kak Sabda, Saga mau nonton!” pekik Saga memandang kesal.

“Televisi zaman sekarang tidak lagi menghiburmu, malah membuatmu depresi, Saga. Pergi mandikan Khota, dia pasti sudah bau!” titah Sabda dengan tatapan mata angkuh.

“Tidak sudi. Kuda itu bau!” protes Saga berkacak pinggang. “Apa lagi gading di giginya, sudah seperti berlumut saking tebalnya. Menjijikkan!”

Sabda memandang Saga dengan tatapan sangat kesal. “Kau berani menentang permintaan kakakmu? Adik tidak tau diri!” kata Sabda sambil bangkit dari tempatnya duduk. Ia mendorong tubuh kecil Saga menjauh dari jalannya.

“Ih, Kakak!” rengek Saga.

“Sudahlah, jangan terlalu banyak cari muka seperti Teria. Memuakkan!” tandas Sabda hendaknya melangkah. Tiba-tiba saja Saga menarik tangannya dengan lembut sambil tersenyum manis.

“Kakak ….” panggil Saga cekikikan.

“Kakak akan bersiap untuk pertandingan terakhir bulan depan. Bagaimana perasaan Kakak? Apa Kakak gugup?” tanya Saga dengan tatapan penasaran.

“Aku tidak menyimpan kata gugup dalam kamus hidupku.” Sabda berucap dengan tatapan tajam. “Karena gugup sedetik saja bisa jadi mengacaukan panggung impianmu!”

Saga memandang betapa bengisnya Sabda tentang masa depan dan harapannya. Anak laki-laki itu mendesis. “Kakak tidak menyadari seberapa kagumnya aku padamu?” teriak Saga memirsa nanar.

“Aku ingin kita bicara layaknya sepasang adik dan kakak. Apa hanya karena aku dan Kakek selalu bersama di Sanghareupan?” lontar Saga dengan kedua bola mata berkaca-kaca.

Sabda hanya berdiri memunggungi, remaja laki-laki itu menggulirkan ekor matanya pada Saga. Tak ada hal lain yang Sabda lihat dari Saga. Hanya anak kecil yang belum sepenuhnya mengerti tentang mimpi dan cita-cita. Saga berjalan ke arah Sabda, hendak menyentuh pergelangan tangan sang kakak. Sayangnya, Sabda segera menghindari.

“Aku tidak butuh pujianmu, atau rasa kagummu, Saga. Bekerja keraslah untuk Sanghareupan. Zerka, mungkin butuh manusia sepertimu!” ungkap Sabda dengan ekspresi bicara super dingin.

“Kenapa Kakak tidak pernah mau melihatku sebagai seorang adik. Layaknya seorang rival, apa aku mengancam bagimu?”

Sabda mendorong bahu kecil Saga, anak laki-laki itu hanya diam sambil memandang penuh emosi. Gejolak rasa ingin diperhatikannya benar-benar membuat Saga terpaku. Sabda berdecak, “Untuk mempertahankan kepercayaan atas diri kita. Musuh memang diperlukan. Entah sebagai pemanis, atau racun yang mematikan.”

“Lantas aku apa?” bentak Saga pada Sabda yang memandang tak tertarik.

“Lebih dari racun yang mematikan. Kalau semua bisa mencintaimu sebagai penerus Kakek. Maka aku akan membuat semua orang mencintaiku sebagai penerus Saruan dan Satin. Legenda Serka 1997!” ucap Sabda dengan pandangan mata tajam dan dingin.

[TERBIT] The Midnight Embrace The Star | [SELESAI✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang