Bab 13 - The Midnight Embrace The Star

5 2 0
                                    

Sejak kekalahan telak yang dialami Serka, Sabda tak pernah membuka pintu hatinya. Cedera yang dideritanya membuat ia kehilangan porsi latihan juga banyak pertandingan harus ia relakan begitu saja. Bersama hujan yang terus menahan dirinya dalam rasa menyesal, rasa bersalah serta ingin mati saja. Hujan seakan membenci bagaimana dirinya merindukan Serka. Banyak kecemasan yang timbul meski hanya melihat mendungnya awan. Satu demi satu kenangan selalu membayang di kepalanya.

Sabda mengutuk setiap hujan yang turun, yang sialnya selalu membuat ia ingat wajah Binoda. Meski sudah lewat dua tahun sejak hari itu, Sabda tetap tidak bisa memaafkan semua yang menimpa dirinya. Mengenang hari itu, satu minggu setelah Sabda keluar dari rumah sakit. Gemuruh penuh kebencian memenuhi setiap titik di Kota Zerka, tak terkecuali di Sanghareupan, tempat Sabda pulang.

Banyak mata yang mengumpat kepulangan Sabda. Tak seorang pun yang menyambutnya dengan senyum hangat atau rasa syukur sebab ia sudah tak lagi mengenakan perban di mata. Semuanya terasa mencekik, walau begitu Saga berdiri dengan senyuman kecilnya yang selalu terlihat tulus.

“Kalah oleh tim kecil seperti Albathcroas. Kurasa kemenangan Serka atas Savior hanya keberuntungan!”

“Sabda bukan pemain terbaik, buktinya … apa … ia tidak bisa membawa kemenangan untuk tim kesayangannya!”

“Cedera? Memangnya sekuat apa lemparan anak asal Kulipa itu?”

“Memangnya bisa sampai membuat bola matanya pecah?”

“Tidak, itu hanya pembelaannya ketika Serka kalah. Ia hanya mengalami retak tulang pipi atas dan pelipis. Matanya baik-baik saja!”

“Kudengar Sabda akan dikeluarkan dari Serka.”

“Tidak, Saheda pasti menyimpan uang untuk cucu tidak tau malunya itu. Kau dengar … Sabda tidak ingin meneruskan pengabdian kakeknya.”

“Aku benar-benar bersyukur dengan kelahiran Saga, ia anak Aheya yang paling—”

Sabda menoleh pada kerumunan warga yang tengah menggunjing dirinya. Kedua tangan Sabda terkepal dengan kuat. Wajahnya memerah, ia menyembunyikan kedua bola matanya di belakang poni juga topi Serka.

Sabda berjalan dengan cepat nyaris seperti orang berlari. Namun, tiba-tiba saja Saga memeluknya dengan erat. Hangat yang Sabda dapatkan dari adiknya itu membuat ia terjatuh, bersimpuh di tanah.

“Kakak baik-baik saja?” bisik Saga iba.

“Aku tidak sehebat Saga. Aku tidak seperti Saga. Aku hanya manusia hina yang selalu meragukan dirimu. Aku minta maaf,” ucap Sabda memeluk Saga dengan erat. Ia pun tersedu-sedu sambil menyesap aroma tubuh adiknya yang masam bercampur aroma daun thyme.

“Aku senang Kakak pulang. Kakak akan selalu menjadi kakak paling hebat. Tidak perlu minta maaf, Kakak tidak salah … dan tidak ada yang salah. Kakak hebat … akan selalu hebat!” kata Saga sambil membelai pusat kepala Sabda dengan mesra.

Di sepanjang jalan menuju rumah yang Sabda dengar hanyalah cacian dan berbagai kalimat perbandingan antara ia dan Saga. Namun, itu tak seberapa sakit. Bahkan tak lebih sakit. Sabda hancur lebuh tatkala Hakku berdiri di depan rumah sambil membawa senyuman penuh kesedihan. Seperti permintaan Sabda sebelumnya. Ia tidak ingin dijemput siapa pun. Ia tak mau langsung kembali dari rumah sakit yang menjadi tempatnya tidur di Melawa. Ia ingin jalan-jalan seorang diri sambil melepaskan perasaan kecewanya.

Namun, yang ia dapatkan hanyalah berbagai kabar tak terduga. Entah tentang kemenangan tim-tim kecil seperti Albathcroas, bahkan sampai berita tentang dirinya yang cedera. Semua Sabda lihat di seluruh penjuru Melawa. alhasil, Sabar memutuskan untuk terbang dari ibu kota Tora itu ke Zerka setelahnya. Dan lagi, Sabda pikir ia akan disambut ternyata kepulangannya malah berbuah demikian. Sabda merasa ingin mengutuk pertandingan kemarin, ia ingin mengutuk Binoda. Akan tetapi, Sabda sadar Binoda memang sehebat itu.

[TERBIT] The Midnight Embrace The Star | [SELESAI✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang