BAB 6 - The Midnight Embrace The Star

13 5 1
                                    

Aroma tanah merah menyengat penciuman Sabda. Hari ini ia memang tidak ada kegiatan berlatih dengan semua anak Serka. Namun, ia juga tidak bisa membiarkan otot tubuhnya dingin tanpa latihan ringan. Sabda berlari bolak-balik mengelilingi zona luar lapangan utama bisbol selama delapan putaran.

Setelahnya, Sabda menjatuhkan tubuh di atas rumput sambil membiarkan angin menyeka keringatnya yang membanjiri wajah. Sabda mengingat hari lalu bersama Alaina. Perasaan bodoh itu membuat Sabda merasa marah. Entah mengapa, ia bisa mengatakan hal demikian dan membuat Alaina seakan kehilangan kepercayaan dirinya yang selalu menggebu-gebu setiap kali berjumpa.

Sabda mengumpat langit dengan kedua manik matanya yang biru gerau. Ia tidak bisa mendukung langit hari itu yang juga tiba-tiba kecewa padanya. Hujan meluluh lantakkan keduanya. Sabda mengumpat semesta yang terus menahan perasaan Kalijati, ayah dari Alaina—pada Sabda. Seburuk itukah menjadi seorang atlet?

Beberapa hari ke belakang. Langit muram, kelabu menghiasi seluruh permukaan wajah Zerka. Padahal, sebelumnya semua tampak cerah-cerah saja dengan angin sepoi juga matahari yang bersinar cukup hangat.

Alaina memegani tangan Sabda dengan eratnya. Remaja perempuan itu mulai berkaca-kaca. Kedua bola matanya memerah, biru irisnya memudar nyaris kehilangan cahayanya. Sabda mendaratkan tangannya di kepala Alaina.

“Aku terus mengiyakan perasaanmu, tapi aku juga terus menyangkal hal-hal yang tidak kumengerti, Al. Aku terus memikirkan apakah ada perasaan yang masih tertinggal atau tidak di hatiku,” lirih Sabda memandang nanar.

“Aku menghargai perasaanmu, dan kau juga harus menghargai perasaanku, Al.” Sabda mengusap kepala Alaina dengan lembut dan membuat Alaina menangis.

“Menikah bukan sekadar menyatukan perasaan dari hati yang berbeda. Bukan pula sekadar menyatukan nafsu dari tubuh yang berbeda. Ini perihal ego di atas ego. Kita akan tinggal bersama, bukan untuk satu malam, tapi sepanjang malam masih ada, kita akan selalu bersama. Sementara kita … kita masih muda, kita terlalu muda untuk menaruh ego kita di tempat yang sama. Meskipun tidak bisa kupungkiri, kedewasaan seseorang bisa tumbuh kapan saja.”

Sabda menghela napasnya cukup dalam, sedangkan Alaina begitu saksama mendengarkan setiap ucapan remaja laki-laki di depannya itu. Sabda tersenyum dengan manis, ia menyeka setiap bulir air mata yang merinai di kedua pipi Alaina.

“Banyak hal yang aku takutkan, Al. Aku takut tak bisa menjalankan tanggung jawabku padamu, alhasil mungkin kau akan pulang ke rumah ayahmu. Aku tidak mau hal itu terjadi. Sementara aku benar-benar mencintai Serka setengah mati. Tidak ada yang lebih aku cintai selain Serka untuk saat ini,

“Aku ingin mengejar dunia, aku ingin cita-citaku menjadi pemain bisbol terbaik dan terkeren di Tora terwujud. Aku ingin membawa euforia penuh suka cita itu dalam setiap langkahku sebagai catcher. Aku ingin pembuktian kalau catcher juga bisa bersinar. Bukan hanya mereka yang berdiri di pitching mount atau mereka yang menjaga basement or short stop yang selalu unggul dalam menjaga lapangan tengah. Aku ingin menjaga home dengan sepenuhnya. Aku ingin selalu mengamankan rumahku, rumah Serka juga angka-angka yang akan tercipta. Aku ingin menjadi bintang bisbol, bukan hanya atlet bisbol biasa.”

Alaina melepaskan tangannya dari tangan Sabda. Remaja perempuan itu memeluk Sabda lagi dengan lebih erat, sambil menangis tersedu-sedu.

“Aku emang egois, aku egois sekali. Tapi aku akan terus menunggu, mendukungmu dan mencintaimu layaknya dirimu mencintai Serka … ataupun lebih,” bisik Alaina.

Sabda mengangguk kecil. “Emm, terima kasih, Al. Jangan sungkan untuk berhenti menunggu, atau berhenti mendukungku. Kau berhak menikmati waktumu sendiri. Percayalah, di usia dua puluhan nanti, mungkin kita akan bertemu lebih banyak manusia baru,” balas Sabda membuat Alaina mengangguk antusias.

[TERBIT] The Midnight Embrace The Star | [SELESAI✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang