Bab 16 - The Midnight Embrace The Star

6 1 0
                                    

Binoda mengemas barang-barangnya, setelah itu ia melangkahkan kaki menaiki bus putih yang sudah menunggu di depan pelabuhan Kuton. Anak-anak Albathcroas hampir tak bisa menyembunyikan kesedihan dan rasa bangga serta menyesal mereka. Wajah murung nan kusut itu membuat Binoda berdecak.

“Hei, ayolah, aku hanya menjadi pemain pinjaman. Aku tidak akan menjadi pahlawan untuk mereka, aku hanya akan bermain-main dan mencuri sebanyak-banyaknya kelemahan mereka!” kata Binoda sembari menepuk-nepuk dada dengan arogan.

“Kuharap kau bisa mengalahkannya!” kata anak-anak Albathcroas.

“Kita ... bukan hanya aku. Kita pasti akan mengalahkan mereka!” ucap Binoda semakin arogan. Ia tersenyum dengan tatapan penuh kedengkian.

“Kita akan selalu percaya padamu, Bin!”

Binoda hanya tersenyum kecil, walaupun hati terasa sakit terutama ketika Takkha menitikan air matanya. Binoda tidak kuasa, tetapi ada hal lain yang lebih penting untuknya kini dari sekadar menyeka air mata Takkha. Binoda hanya ingin air mata itu kelak menjadi senyum penuh kebanggaan.

Walaupun ia harus mengkhianati anak-anak Albathcroas, tetapi lagi-lagi alasannya hanyalah demi senyuman bangga mereka. Binoda sadar, sebagai pemain terbaik dari tim bisbol kecil seperti Albathcroas, mendapat tawaran bermain di tim besar adalah batu loncatan baginya. Apalagi tim besar itu adalah tim langganan Trojan dan Rollicking, Binoda merasa buta dengan statusnya sebagai pemain andalah Albathcroas.

Rasa ingin diakui seluruh warga Tora membuat hatinya nekat. Bukankah beberapa pemain besar seperti Diramu, ia pun meninggalkan tim besar di kota kelahirannya demi Serka? Lalu, kenapa Binoda tidak demikian?

“Maafkan aku, Hanzel … maaf karena harus kubebankan tanggung jawab yang begitu besar padamu untuk menjaga Takkha,” bisik Binoda ketika roda bis mulai bergerak meninggalkan wajah Kuton.

Zerka, pukul delapan pagi dengan setitik cahaya matahari yang hangat. Hijaunya Antarserka membuat Sabda patah hati. Ia bahkan tak mampu mengalihkan pandangannya ke sekeliling stadion meskipun hari ini stadion kebanggaan warga Zerka tampak penuh bukan main. Begitu pun dengan bagian tengah lapangan, di mana sederet anak berdiri sambil menunduk.

“Persetan dengan persekusi Aghra! Persetan dengan ….”

“Dengan begitu … bukankah Aghra benar-benar membuktikan kalau ia mencintai kita, Sabda?” celetuk seseorang. Kedua bola matanya yang tampak berbinar cemerlang itu menatap dengan tajam lagi menusuk.

“Aghra selalu berusaha mewarisi tradisi leluhur Zerka. Ia menentang hubungan sesama jenis karena itu bisa membuat tanah Zerka murka. Ia menentang adanya hubungan ilegal antara laki-laki dan perempuan demi menghindari angka kematian bayi sebab aborsi. Aghra tidak pernah membiarkan tanah Zerka kotor karena dosa kita secara pribadi,

“Apakah pandangannya salah di matamu, Sabda? Kenapa kau menolak menjadi bagian dari algojo rekan-rekanmu, sementara kau sendiri tau akibat yang akan timbul dari perbuatan mereka? Apakah kau akan mempertanyakan pandangan egoismu terhadap Aghra?” todongnya dengan senyuman lebar seakan memberikan kekalahan telak pada Sabda.

“Atau jangan-jangan hati kecilmu masih menginginkan Diramu sebagai pasangan battery dirimu?” imbuhnya dengan picingan mata celih.

Karsha, laki-laki yang usianya lebih muda dari Sabda itu melangkah mendekati Sabda. Ia berdiri di samping sosok yang pernah agung pada masanya tersebut sambil memandang jauh ke lapangan dari balik punggung bangku stadion.

“Aku tau kau pasti terpukul akan hal ini, bahkan aku pun. Aku tidak pernah melihat Diramu melakukan kontak secara khusus dengan Armani di lapangan.” Karsha menoleh.

[TERBIT] The Midnight Embrace The Star | [SELESAI✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang