BAB 2 - The Midnight Embrace The Star

47 18 4
                                    

Seekor kuda hitam dengan ujung surai putih keluar dari kandangnya. Di samping tubuh kuda hitam yang tampak berotot masak itu berdiri Sabda. Manik mata biru geraunya memandang jauh ke arah bukit kecil yang hijau dipenuhi pohon, dan bunga-bunga liar.

Zerka, sebuah ibu kota dari Provinsi Hega, bagian timur Tora. Zerka adalah satu-satunya tempat di Tora yang masih bisa dikatakan sebagai paru-parunya juga jantung hatinya Tora. Hampir semua kehidupan bersumber dari Tora. Entah kebutuhan pangan untuk semua masyarakat Hega sendiri, ataupun untuk semua masyarakat Tora. Semua hasil pertanian, perkebunan, serta peternakan dengan kualitas terbaik berasal dari Zerka, terutama dari Sanghareupan. Sebab tanahnya yang bagus dan cocok ditanami apa saja.


Namun, beberapa waktu terakhir, sejak pemerintah pusat dan setempat menyetujui beberapa pembangunan fasilitas publik seperti pelebaran halte bus, parkir VIP untuk kendaraan pribadi bagi orang-orang yang tak punya garasi, alun-alun kota yang dilengkapi berbagai wahana, tempat gym, museum seni dan panggung teater, sampai pusat perbelanjaan yang dilengkapi bioskop dan lainnya, menjadikan beberapa lahan di Zerka mulai berubah.

Ya, meski kegiatan bercocok tanam masih dilakukan. Hidroponik tak kalah menariknya. Kini, banyak rumah dan titik-titik tertentu di Zerka yang menerapkan teknologi demikian. Dengan harapan, Zerka tetap menjadi paru-paru dan jantungnya Tora meski bukan lewat lahan hijau yang luas seperti Zerka yang dulu. Para petani memanfaatkan berbagai kemajuan teknologi untuk tumbuh kembang flora dan fauna Zerka yang diakui oleh berbagai negara atas kualitasnya. Mereka bahkan kembali kuliah demi mengejar ilmu-ilmu pertanian yang semakin canggih dan uptodate.

Tarikan napas Sabda membuat kuda hitam di sampingnya menunduk. Tangan Sabda membelai lembut wajah kuda itu. Ia mendaratkan kepalanya di kepala Khota, nama sayang kuda hitam tersebut.

“Lama tidak mengajakmu berkeliling, Khota. Maaf, aku terlalu sibuk dengan Serka.” Sabda tersenyum getir.

Sabda masih menyandarkan kepalanya di kepala Khota. Remaja laki-laki itu pun menepuk-nepuk kepala Khota. “Kita pergi sekarang!” bisik Sabda. Sabda menaiki kuda hitam kesayangannya itu, tangannya dengan kuat memegangi tali di leher Khota. Bergerak kakinya mengendali setiap langkah keempat kaki Khota.

Angin meniupkan ribuan kelopak bunga berwarna merah jambu menerpa wajah Sabda. Terjatuh remaja laki-laki itu dari tubuh Khota. Ia berguling dari atas bukit mendarat tepat di depan sebuah batang pohon tua yang sudah gundul dahannya.

Sabda tertawa melihat Khota menatap dirinya miris. Khota yang berdiri di atas bukit sesekali mengangkat kedua kaki depannya seakan memanggil Sabda untuk kembali. Remaja laki-laki itu lekas bangkit sambil merapikan pakaiannya yang dikotori rumput dan kelopak bunga.

“Sabda!” panggil seseorang dari balik bukit sambil melambaikan tangannya yang memegangi sebuah bola berwana putih dengan jahitan benang merah. Tampak sepasang manik mata berwarna cokelat semu oranye memandang cemerlang.

Sabda memilin bibirnya dengan kecut saat si empunya mata berjalan ke arahnya sambil memboyong Khota. Sabda mengembuskan napasnya begitu dalam.

“Mau latihan lempar tangkap?” tanya remaja itu mengerling genit. Pancaran rasa percaya dirinya yang tergambar pada manik mata cerianya membuat Sabda tersenyum kecil nan kecut.

“Kau tidak mengikuti jalannya pertandingan Tora dan Thailand, Dira?” tanya Sabda dengan tatapan dingin.

“Tidak,” jawabnya cengengesan.

Diramu Magnistuka, remaja laki-laki berusia sembilan belas tahun. Kelahiran Butas, Provinsi Gewa. Tumbuh dewasa di Zerka sebab sang ayah yang mengajar di salah satu SEDASA terbesar di Zerka sebagai guru olahraga.

[TERBIT] The Midnight Embrace The Star | [SELESAI✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang