Tak ada ambisi yang lainnya untuk saat ini selain membuat Binoda enyah dari pitching mount. Sabda menggertak ketika bola hasil lemparan Binoda nyaris menghantam padanya. Binoda tersenyum dengan santai. Laki-laki berambut merah yang tampak menyala itu berjalan ke arah Sabda.
“Sepertinya kau tidak sedang dalam kondisi prima. Bisakah aku memijat bahumu?” tawar Binoda sambil cekikikan.
“Aku ingin Nagara bukan dirimu!” kata Sabda sambil memaki Binoda.
“Tapi takdir ingin kita terus bersama. Pasalnya, bukankah kau juga tau sendiri kalau beberapa atlet memilih untuk pensiun dini?” sindir Binoda sambil menepuk-nepuk dadanya.
“Aku tidak habis pikir ketika akhirnya mereka berlomba-lomba untuk kuliah demi gelar sarjana. Kau pikir memangnya olahraga yang kita banggakan ini benar-benar akan menemui titik kematiannya?” Binoda berdecak pelan.
“Sampai kapan pun, Tora akan tetap menjadi rumah bagi atlet seperi tidak. Aku tidak peduli dengan label yang tersemat padanya nanti. Negara industri, negara imperialis, negara gila produksi, negara eksportir terkenal.
“Aku hanya ingin hidup di atas nama Tora yang dulu. Negara kecil yang penuh dengan kehangatan. Di mana persaudaraan selalu menjadi simpul paling kuat.” Binoda memandang ke arah langit yang biru terang.
“Aku rindu mengantar ikan ke Zerka, aku juga rindu betapa indahnya Zerka yang hijau. Rindu aroma asap Damdami yang ringan. Rindu cahaya bulan di Melawa. Aku rindu kedamaian di Butas, angin Gewa yang begitu hangat. Aku rindu bau air laut Kulipa, Sabda,” ucap Binoda sambil menitikan air mata.
“Aku rindu suara bayi di tengah malam. Aku rindu melihat para remaja berpacaran dengan berbagai candaan mereka di pusat-pusat kota. Aku rindu indahnya cinta kasih Adam dan Hawa di Festival Tebar Bunga. Acara paling menyenangkan di hari libur nasional. Apa kau demikian?”
Sabda hanya termenung mendengarkan betapa bergetar suara Binoda. Sabda bangkit dari tempatnya berjongkok. Ia berjalan ke arah Binoda. “Aku hanya merindukan Serka yang dulu. Serka yang damai tanpa dirimu!” bisik Sabda sambil melengos dari lapangan.
“Aku akan terus menunggu jawaban darimu tentang mimpi kita. Mimpi mempertahankan bisbol Tora. Maukah jadi pasangan battery untuk Serka, Sabda?” lontar Binoda pada Sabda yang mempercepat langkah kakinya menjauh dari lapangan.
*****
Semangka merah menjadi obat penat. Sabda duduk termangu di saung depan kolam ikan kesayangan Saheda. Sabda masih tidak bisa memaafkan Binoda soal kejadiaan tiga tahun lalu. Tentang ia yang memang dengan kejinya mengatakan bahwa ia sengaja mencelakai Sabda dan berniat menghancurkan masa kejayaan Serka. Tentang Binoda yang ingin lebih unggul dari Sabda, dan semua tentang balas dendam. Sabda benar-benar tidak habis pikir kenapa Aghra membawanya ke Zerka.
Saga duduk di sebelah Sabda, anak laki-laki itu memandang wajah kakaknya yang terlihat murung. Patut Saga akui kalau semangat Sabda mengejar mimpi masih begitu berapi-api walaupun tulang pipi dan mata kanannya tidak sesempurna dulu. Namun, ia masih berusaha keras mengejar yang pernah menjauh darinya.
“Kakak akan kembali bertanding di kejuaran antarkota, kah? Aku melihat latihanmu yang keras!” kata Saga dengan antusias.
“Entahlah. Aku akhir-akhir ini aku tengah merasa kalau bisbol mungkin bukan rumahku lagi,” sahut Sabda tersenyum getir.
“Kenapa?” Saga bertanya dengan raut wajah terkejut.
“Apa yang kau rasakan ketika berjumpa dengan musuhmu? Atau apa yang kau akan lakukan ketika kau berjumpa dengan orang yang membuat dirimu hancur, Saga?”
KAMU SEDANG MEMBACA
[TERBIT] The Midnight Embrace The Star | [SELESAI✔]
Teen FictionBeberapa part akhir 360° beda antara buku dan wattpad. PRE-OEDER NOW 5th-15th June 2024 Cek di akun IG @Stora.media, ya. Jangan lewatkan kesempatan buat peluk Sabda, Saga dan Binoda. Juara 🥇 Writora : Take Your World. Cerita ini sedang mengikuti...