Berlari keluar dari dalam taksi online yang ditumpanginya, Valerie segera berlari menuju pintu utama restoran milik Naresh di tengah hujan yang mulai menderas. Hari sudah semakin malam, ruangan itu sudah mulai temaram ketika Valerie masuk.
"Selamat malam," sapa seseorang yang sedang beres-beres, menaikkan kursi ke atas meja dengan posisi sandaran menggantung ke bawah. "Maaf, bu, tapi kami sudah tutup. Bisa bertemu lagi besok, mulai pukul sembilan."
"Naresh belum pulang, 'kan?"
"Bapak Naresh sedang ada di ruangnnya, bu. Sepertinya sudah bersiap pulang juga."
Diam-diam di dalam hati, Valerie bangga dengan cara Naresh mendisiplinkan para karyawannya soal kesopanan.
"Ada yang bisa saya bantu sampaikan?" tawar karyawan perempuan itu yang rela menghentikan pekerjaannya demi melayani Valerie.
"Enggak, terima kasih. Saya akan tunggu di depan aja." Valerie tahu diri untuk tidak merecoki.
***
Ternyata protokol penutupan sebuah restoran ketika malam hari tidak serta merta hanya tutup pintu dan pulang. Banyak rangkaian yang mengharuskan Valerie menunggu Naresh menjadi lebih lama. Bosan, ditambah kedinginan karena lupa mengenakan jaket dan hujan yang semakin tidak kondusif.
Kisaran lima belas menit, akhirnya para pegawai yang masuk shift malam mulai keluar melewati pintu. Lumayan banyak. Dan orang yang Valerie tunggu, ternyata ada di posisi paling belakang. Dibantu dengan seorang laki-laki, Naresh mengunci pintu kaca tersebut.
"Saya duluan, pak. Permisi."
"Hati-hati."
Sepeninggal pria itu, Naresh langsung menghampiri Valerie. "Dari tadi, ya? Sori lama, kita memang ada beberapa kegiatan sebelum benar-benar tutup."
"It's okay. Aku belum lama kok." Valerie tersenyum sembari bersedekap dada meminimalisir rasa dingin yang menyerang kulit lengannya.
"Mau ngobrol di mana?"
"Terserah kamu, aku ikut."
Naresh mengangguk dan segera mengajak Valerie masuk ke mobilnya yang memiliki parkiran khusus tidak terlalu jauh. Walau tetap sedikit terguyur hujan, tapi jauh lebih baik daripada parkiran umum.
Selama perjalanan, tidak banyak yang mereka bicarakan. Seperti sama-sama menahan untuk mencari tempat yang lebih hangat dan nyaman.
"Nostalgia?" Valerie bertanya seraya mengangkat alis kirinya. Pasalnya Naresh memberhentikan mobil di sebuah cafe 24 jam yang dulu sering mereka datangi untuk sekadar kencan kecil ataupun mengerjakan tugas. Dibanding dulu, tempat itu kian aesthetic dengan mengangkat tema kontemporer. Sangat berbeda dengan beberapa tahun silam.
Naresh terkekeh santai. "Setelah enggak sama kamu, aku belum pernah kembali ke sini. Beberapa kali lewat, tapi enggak tertarik untuk singgah. Tapi malam ini, mendadak kepikiran bawa kamu ke sini."
"Aku juga belum ke sini lagi selepas dari kamu."
"Enggak keberatan kita ngobrol di sini?"
"Nggak, kok." tegas Valerie. "Di manapun aku enggak keberatan."
***
Naresh mengaduk latte pesanannya yang baru datang dua menit lalu, sembari menunggu Valerie yang sedang izin ke toilet. Malam ini suasana cafe tidak terlalu ramai, mungkin karena hujan. Hanya menyisakan beberapa orang yang sepertinya sengaja meneduh karena sudah terlanjur tertahan di dalam dan enggan terguyur hujan.
Tak berselang lama Valerie muncul dan kembali duduk di hadapan Naresh. Terlihat wanita itu kedinginan dari caranya menggosokan kedua sisi telapak tangannya.
"Kamu mau bicara apa?"
Valerie menghembuskan napas berat. "Masih sama, tentang anak."
Naresh menyandarkan punggung ke kursi. "Aku sudah bilang, aku enggak mau membantu meski aku bisa."
"Kenapa? Apa karena kamu sudah punya kekasih? Kamu tenang aja, Naresh, soal anak itu nanti, aku enggak akan pernah ungkit nama kamu sekalipun."
"Pertama, aku enggak punya kekasih. Kedua, mana ada anak yang enggak tahu siapa bapaknya." Naresh meralat semua ucapan Valerie.
"Aku juga enggak akan nuntut apa-apa dari kamu, terlebih soal nafkah. Aku janji sama kamu kalau aku akan menghidupi anak itu dengan berkecukupan."
Naresh menggeleng tidak habis pikir. Apa makhluk di hadapannya ini tidak memiliki hati?
"Enggak salah kalau kamu enggak mau, aku sendirilah yang salah. Udah jelas, dulu aku yang diputusin. Yang artinya, kamu udah enggak ada perasaan ke aku, tapi dengan enggak tahu malunya, aku malah datang untuk minta tolong." Valerie menunduk sambil memainkan kukunya yang diwarnai dengan kuteks berwarna kuning cerah.
"Dulu dan sekarang enggak ada sangkut pautnya. Aku punya alasan kenapa pada akhirnya aku melepaskan kamu. Dan sekarang... aku rasa kita punya kesempatan untuk memperbaiki semuanya."
Valerie terlalu bodoh mencerna kalimat bermakna dalam itu. Dia hanya terdiam dan menunggu.
Sementara Naresh masih menanti respons dari Valerie yang sayangnya tidak dia dapat sama sekali. Untuk menghilangkan dahaga, Naresh menyesap latte-nya. Suasana hening hingga menjelma menjadi canggung.
"Aku rasa pembicaraan ini selesai, Naresh." Valerie memecah keheningan.
"Cuma itu yang mau kamu bicarakan?"
Valerie menggeleng. "Yang intinya, kamu menolak membantu aku. Enggak apa-apa, aku hargai keputusan kamu."
Sebenarnya Naresh ingin lebih lama, setidaknya tiga puluh menit lagi. Entah bicara ataupun tidak, tetapi dia masih betah berbagi udara di dalam satu ruangan yang sama bersama Valerie.
***
Berulang kali Naresh menguap di tengah perjalanan, padahal posisinya sedang menyetir. Lambat laun kantuknya semakin mendera dan tidak dapat di toleransi.
"Val, berhenti sebentar, ya? Aku ngantuk banget, takutnya terjadi hal-hal yang enggak diinginkan." izin Naresh. Bagaimana pun kenyamanan penumpang tetap yang utama.
"Gimana kalau aku yang bawa mobil?" Valerie menawarkan diri.
"Tapi, 'kan aku yang mau antar kamu pulang, bukan sebaliknya."
"Aku bisa minta jemput abangku. Justru kalau harus berhenti, takutnya terlalu malam. Ini juga masih hujan."
Tidak ingin mendebat lagi karena suasana hujan dan malam hari memang perpaduan yang sangat pas untuk menimbulkan rasa mencekam. Naresh dan Valerie bertukar posisi tanpa perlu turun dari mobil, mereka ahlinya.
"Kamu masih tinggal di rumah yang dulu, Naresh?" tanya Valerie ketika mulai melajukan mobil dengan stabil.
Naresh menggeleng, lalu menyebutkan tempat tinggalnya saat ini. Di sebuah apartemen yang kebetulan Valerie sangat ketahui lokasinya. Sepanjang perjalanan Naresh tertidur, ia benar-benar tidak dapat melawan rasa kantuknya.
Tidak sampai satu jam mereka tiba di tempat tujuan. Kesempatan emas ini, Valerie tidak ingin menyia-nyiakan begitu saja. Dengan kepayahan Valerie memapah tubuh Naresh menuju lift, pria itu bahkan sudah memberitahu secara rinci pada Valerie. Merogoh saku Naresh untuk mencari card sebagai akses membuka pintu, Valerie bernapas lega meletakkan dengan segera tubuh Naresh di sofa.
"Terima kasih, obat tidur." Valerie tersenyum licik.
Ya, ini semua ulahnya. Lebih tepatnya ide yang Gladys berikan dan sisanya tergantung eksekusi Valerie.
***
Vote dan Komen dong supaya rame...
KAMU SEDANG MEMBACA
Make Me Pregnant, Please!
RomanceMenjadi anak bungsu di keluarga kaya raya, tentunya membuat Valerie Noura Smith juga tergiur untuk mendapatkan warisan dari sang ayah, Beno Smith. Berbeda dengan kedua kakak laki-lakinya yang mendapat hak warisan setelah usia mereka dua puluh lima t...