Seperti biasa Naresh akan bekerja di restorannya sebagai seorang chef. Dia memang pemiliknya, namun memasak tidak bisa ditinggalkan karena termasuk passion pria itu. Naresh melakukannya dengan senang hati dan tanpa paksaan.
Dua hari berturut-turut kemarin Valerie menemaninya, bahkan menjadi asisten Naresh ketika memasak. Namun sejujurnya bukan merasa terbantu, Naresh malah merasa Valerie menghambat pekerjaannya menjadi sedikit lebih lama. Tapi demi menjaga perasaan Valerie dan menghargai usaha wanita itu, Naresh memilih diam dan mengatakan hal-hal yang tidak membuat istrinya minder.
Beruntung karena hari ini Gladys sedang libur kerja, jadi Valerie memilih hangout dengan sahabatnya itu. Naresh bisa kembali cekatan di dapur.
"Permisi, Pak, ada yang mau bertemu di depan." ujar seorang karyawan perempuan bagian penerimaan tamu.
"Siapa? Saya enggak ada janji ketemu orang hari ini." balas Naresh yang masih menggunakan tangannya memfillet ikan.
"Namanya Natasha—"
Naresh tidak mendengar lagi kelanjutan wanita itu, tepatnya tidak ingin. Karena Naresh segeranmencuci tangan dan menemui wanita itu.
***
"Jadi kesibukan kamu cuma ngerecokin Naresh kerja?"
Valerie memajukan bibir bawahnya, kesal. "Bantu, Gladys. Bukan ngerecokin."
Gladys tertawa. Dia tahu benar bagaimana kapasitas Valerie dalam hal memasak. Nol besar.
"Kamu kok rese, sih!!" protes Valerie.
"Ya... lucu. Kamu bilang bantu, padahal aku tahu kamu bahkan enggak bisa bedain jahe sama lengkuas."
"Bisa, kok. 'Kan Naresh tinggal tunjukin doang, nanti aku yang bantu ambil." Valerie berkilah. Dia sebal karena Gladys seperti sedang menjabarkan kebodohannya.
Tawa Gladys semakin menggelegar mendengar kejujuran Valerie. "Itu namanya bikin ribet. Tambah lama dia kerjanya karena kamu enggak tahu apa-apa."
"Tapi Naresh enggak bilang gitu."
"Jelaslah, karena kalau dia jujur, kamu akan sedih."
Valerie melempar bantal sofa ke arah wanita itu. "Udahlah enggak usah bahas ini."
Gladys mengedikkan bahu. Tatapannya kembali ke layar televisi di kamarnya itu sembari mengunyah camilan-camilan kaya akan MSG.
***
Tidak ada yang bisa Naresh lakukan selain membiarkan Natasha menangis sambil memeluknya. Pria itu serba salah. Ingin balas memeluk untuk menenangkan, namun terbayang-bayang wajah Valerie. Tidak ingin memeluk, namun Natasha terlihat begitu rapuh.
"Sha, kamu kenapa? Cerita dulu," Naresh berusaha menahan pundak Natasha namun gadis itu semakin erat memeluknya hingga beberapa pengunjung dan karyawan melihatnya. "Kita ngobrol di tempat lain, ya?" tawar pria itu.
Nataha semakin menangis histeris, membuat Naresh bingung. Namun juga mengambil langkah tegas dengan sedikit memaksa Natasha untuk mau bergerak agar mereka bisa pindah ke tempat yang lebih layak untuk berbicara.
"Naresh..." lirih Natasha.
"Cerita apa aja yang mau kamu ceritakan."
Masih dengan menangis, Natasha hanya bisa menggeleng. Pikirannya saat ini kacau karena peristiwa yang baru saja dialami.
"Apa... apa aku boleh menginap di apartment kamu u-untuk beberapa hari?" tanya Natasha terbata karena masih sesenggukan.
"Aku akan carikan tempat lain yang aman untuk kamu." balas Naresh. Tentu dia tidak akan membawa wanita lain ke tempat tinggalnya, apa lagi saat ini ia sudah memiliki istri. Perasaan istrinya jauh lebih utama dari pada kepeduliannya terhadap orang lain. Karena saat kita ingin membantu yang lain, maka tidak ada yang boleh tersakiti karena hal itu.
"Jangan, Naresh..." tolak Natasha. "Aku... aku ingin di apartmentmu saja. Aku takut sendirian."
Kebetulan mereka tidak berada di jalanan besar dan tempat itu lumayan sepi, maka Naresh menghentikan mobilnya ke pinggir.
"Bagaimana kalau rumah ibuku?"
Lagi-lagi sebuah gelengan Natasha tunjukkan. "Naresh, please... Untuk beberapa hari saja aku di apartmentmu."
"Natasha, kita bukan sepasang yang patut tinggal di sebuah tempat bersama. Tolong mengerti. Rumah ibuku akan aman untukmu, bahkan lebih aman dibanding apartment." tutur Naresh.
Gerakan tanpa aba-aba wanita itu membuat Naresh terkejut ketika dirinya kembali di peluk. "Please, Naresh... Aku butuh tempat berlindung, atau aku akan mati ditangan Indra."
Naresh memiliki ibu seorang perempuan, adik perempuan dan juga seorang istri, maka saat melihat wanita menangis sembari memohon pilu seperti ini membuatnya iba. "Iya, oke, kamu boleh tinggal di apartment selama beberapa hari ke depan."
"Makasih, Naresh."
Menepuk punggung Natasha dengan lembut, Naresh masih enggan balas memeluknya. "Udah, ya, jangan nangis lagi."
"Aku takut, Naresh."
"Ada aku. Indra enggak akan bisa menyakiti kamu." Naresh meyakinkan.
Natasha akhirnya melepaskan pelukannya, mengusap serta air mata yang mengakibatkan wajahnya sembab.
***
Setelah menekan bel pintu berulang kali, akhirnya pintu terbuka. Seorang asisten rumah tangga setengah baya yang dikirim oleh Rahmi untuk membantu mengurus tempat tinggal anak dan menantunya—yang membukakan pintu.
"Naresh sudah pulang, bi?" Valerie melangkah masuk sambil bertanya.
"Sudah, non." jawab Bibi Erna dengan sopan.
Valerie antusias, tentu saja. Gadis itu berlari dengan gembira ke kamarnya. Namun saat sampai, ia tidak dapat menemukan Naresh. Mengecek kamar mandi pun sia-sia sebab pria itu tidak ada. Alhasil Valerie keluar untuk memeriksa kamar mandi di luar kamarnya dan dapur, tetapi yang ditemui hanya Bibi Erna sedang mencuci piring.
"Katanya Naresh udah pulang, Bi. Kok enggak ada?" Valerie menunjukkan wajah kecewanya. Padahal jika Naresh memang ada, Valerie ingin meminta diajarkan mengenal bahan-bahan masakan agar tidak ditertawakan Gladys lagi.
"Masih di kamar sebelah sepertinya, non."
"Kamar sebelah? Ngapain? Tumben di sana?" tanya Valerie bertubi-tubi. Belum sampai Bibi Erna membuka mulut, wanita itu sudah lari duluan.
Memutar handle pintu, Valerie berseru. "Na... resh..." panggilnya melemah di beberapa huruf terakhir.
***
"Udah enggak usah ditangisi terus. Sekarang kamu istirahat dulu, ya."
Natasha menahan lengan Naresh yang bermaksud meninggalkannya. Lantas memeluk erat pria itu. "Aku takut, Naresh..."
"Kamu aman di sini." respons tubuh Naresh mulai tidak nyaman karena wanita itu terus saja mendekapnya.
"Jangan tinggalin aku, Naresh... Di sini aja, please..."
Lambat-lambat Naresh mulai melepaskan tangan Natasha yang melingkar di tubuhnya. "Natasha, enggak akan ada yang menyakiti kamu di sini."
"Naresh, please..." Natasha memohon agar Naresh tidak melepaskan tangan wanita itu. Ia benar-benar masih trauma dengan kejadian yang sudah dialaminya selama berulang kali.
Sekali lagi, atas nama tidak tega Naresh pun mengalah. Memberi ruang agar wanita itu melepas kesedihannya terlebih dahulu. Ia mengusap pundak Natasha dengan halus dengan gerakan kaku.
Keheningan melanda hanya dengan tangis Natasha yang menjadi alunan sendu di kamar yang jarang sekali di tempati itu, namun tetap rajin dibereskan. Walakin, setelah sepersekian detik keheningan itu terjadi, secara mendadak pintu berwarna coklat itu terbuka...
"Na... resh..." Valerie memanggilnya dengan kuat di depan, lemah di akhir.
***
Pas banget 1K words, tumben.
Vote dan Komen kalian aku tunggu, lhoooo. Thank you.

KAMU SEDANG MEMBACA
Make Me Pregnant, Please!
RomansaMenjadi anak bungsu di keluarga kaya raya, tentunya membuat Valerie Noura Smith juga tergiur untuk mendapatkan warisan dari sang ayah, Beno Smith. Berbeda dengan kedua kakak laki-lakinya yang mendapat hak warisan setelah usia mereka dua puluh lima t...