Seminggu berlalu, namun Naresh belum juga menemui ayah Valerie. Bukan karena pria itu ingkar janji, namun karena sibuk. Naresh dipercaya menjadi juri acara masak-masak di salah satu perlombaan yang ada di luar kota. Valerie cukup tahu diri untuk tidak mendesak.
Kabar baiknya, pagi tadi Naresh mengubungi jika dirinya akan tiba sore hari. Maka dari itu Valerie berinisiatif menjemput di bandara.
"Thanks sudah menyempatkan jemput." kata Naresh dengan tulus saat sudah berada di dalam mobil.
Valerie tersenyum lebar sembari fokus mengendalikan kemudi mobil mewahnya.
"Kamu sudah baca pesan terakhirku, 'kan?" tanya Naresh memastikan. Takut jika gadis itu saling mengartikan dan menyesal karena sudah bersikap manis dengan acara menjemput segala.
Valerie mengangguk sambil. "Kamu baru bisa bertemu papa besok."
"Jadi ini jemputnya ikhlas?" tanya Naresh lagi.
"Ikhlas lah. Kalau enggak, aku enggak akan repot-repot jemput kamu."
Naresh mengangguki. "Terima kasih."
"Iya, Naresh." santai Valerie. "Eh, ini kita ke apartment kamu yang waktu itu, 'kan?"
"Kita ke rumah mama."
***
Valerie memarkirkan mobilnya di garasi rumah Ibunda Naresh. Wanita itu mengamatinya dengan terpukau. Gaya rumah lama dan baru mereka begitu kontras, kini lebih minimalis namun tetap modern dan mewah.
"Sejak kapan pindah ke sini?"
"Masuk aja dulu, kita ngobrol di dalam." ujar Naresh yang langsung dituruti Valerie.
Ini rumah Ibunda Naresh, secara harfiah rumah Naresh juga, hanya saja pria itu memiliki hidup mandirinya di apartment. Entah mengapa, ada kebanggaan tersendiri di lubuk hati Valerie mengenai hal itu. Calon suaminya setidaknya bukan orang sembarangan yang tidak memiliki masa depan.
"Kamu duduk dulu, aku bawa koper ke kamar dan panggil mama." titah Naresh ketika mereka sudah berada di dalam rumah.
Valerie agak canggung saat Naresh menyebut kata mama. Sudah lama mereka tidak bertemu. Namun selain menurut tidak ada yang bisa ia lakukan.
Tak berselang lama seorang asisten rumah tangga—Valerie tidak mengenalnya karena sepertinya baru—membawakan segelas minuman dingin beserta kue kering.
"Terima kasih," santun Valerie.
Wanita paruh baya itu mengangguk tak kalah sopan sembari berbasa-basi satu dua hal kecil sampai sosok Naresh dan Rahmi—Ibunya Naresh—muncul, barulah wanita itu undur diri.
"Valerie..." gumam Ibu Naresh sembari berjalan mendekat dan memeluk gadis itu. "Sudah lama enggak bertemu. Kamu apa kabar?"
Valerie tersenyum sembari mereka melepaskan diri. "Baik, tante."
Naresh duduk di sofa seberang kedua wanita yang sedang bernostalgia itu. Membiarkan mereka saling bertukar cerita terlebih dahulu.
"Beginilah kami, Valerie. Semenjak meninggalnya Papa Naresh, kami memutuskan pindah kemari. Tepatnya tante dan Nayla, karena Naresh lebih sering pulang ke apartemennya." jelas Rahmi memberitahu keadaannya beserta kedua anaknya.
Valerie mengusap lengan Rahmi, "Om sudah bahagia di sana, tante. Begitupun dengan Mama Valerie yang begitu cepat pergi. Mereka di sana pasti tersenyum kalau di sini kita bahagia."
Rahmi mengusap sudut matanya, lalu tersenyum. "Iya, kamu benar. Mereka bahagia kalau kita juga bahagia."
Valerie mengangguk. Gadis itu sudah lebih dulu merasakan kehilangan, itu sebabnya Valerie tahu betul bagaimana perasaan Naresh dan ibunya.
"Oh, iya, ma..." Naresh mengambil alih obrolan. "Naresh minta izin,"
"Izin untuk apa, Naresh?" tanya Rahmi mengalihkan pandangan pada putra semata wayangnya.
"Naresh mau menikahi Valerie."
Rahmi tersenyum lebar, namun matanya berkaca-kaca. Tidak bisa wanita itu menutupi rasa senang sekaligus kagetnya. "Ini... serius?"
Naresh mengangguk. "Dalam waktu cepat, ma."
"Mungkin bulan depan, tante." sambung Valerie.
Naluri Rahmi sebagai seorang ibu membuatnya mencurigai suatu hal. Ia menatap Naresh dan Valerie bergantian kemudian bertanya dengan hati-hati, "Kenapa terburu-buru?"
"Kalau mama berfikir Valerie hamil, mama salah." Naresh seakan dapat membaca dengan jelas pemikiran ibunya. "Kita menikah, karena ingin serius. Sebelumnya kita pernah gagal berpacaran."
Rahmi tidak tahu poin pertama itu jujur atau tidak, namun cukup melegakan kecurigaannya. Tidak mungkin Naresh membohonginya.
"Kalau menurut kalian itu yang terbaik, silakan. Mama akan mendukung dan merestui. Mama senang, akhirnya kalian berjodoh."
Valerie memaksa bibirnya untuk tersenyum, karena kini pikirannya berkelana. Sedikit merasa bersalah karena terkesan mempermainkan sebuah pernikahan yang sebenarnya hal itu sangat sakral. Dan, Valerie masih tidak tahu dengan perasaannya pada Naresh. Saat ini yang gadis itu kenal hanya sebuah ambisi. Ambisi untuk mendapatkan harta dan membuka butiknya sendiri. Membanggakan sang ibu yang sudah kembali pada tuhan bertahun-tahun silam, serta menyenangkan dirinya sendiri juga.
"Valerie," tegur Rahmi dengan lembut.
"Eh, iya, tante?" kikuknya salah tingkah karena didapati melamun.
"Papamu sudah tahu kalau besok Naresh menemuinya?"
"Belum tante, tapi sebelumnya Valerie sudah bilang kalau dalam waktu dekat ini, Valerie minta waktu papa sebentar."
Rahmi mengusap surai panjang Valerie. "Semoga lancar niat baik kalian ini."
***
"Besok jam tujuh malam, aku tunggu di rumah." Valerie mengingatkan detail waktu dan tempat mereka membuat janji.
"Iya, besok aku datang tepat waktu."
Valerie menghentikan langkahnya karena sudah berdiri tepat di depan pintu mobilnya. "Terima kasih, ya, Naresh."
Naresh yang berdiri di hadapan Valerie hanya menaikkan sebelas alisnya bertanya.
"Terima kasih sudah mau membantu aku untuk hal besar ini. Termasuk menikah sama aku,"
Naresh menepuk puncak kepala Valerie dengan gemas. "Iya, calon istri."
Valerie terkekeh. Kemudian menurunkan tangan Naresh. Tidak benar-benar langsung menurunkan. Bahkan aksinya membuat Naresh kaget dan senang, sebab Valerie mengecup punggung tangannya. Selayaknya istri yang mengabdi pada suaminya.
"Sudah cocok jadi istri, 'kan?" sarkas Valerie.
Naresh tertawa ringan. "Cocok."
Valerie maju satu langkah, lalu tanpa aba-aba menempelkan bibirnya pada bibir Naresh. Hanya sedetik dan Valerie langsung berlari masuk ke dalam mobil dengan kekehan. Sejujurnya ia malu, namun hatinya sangat ingin melakukan itu. Memberikan sesuatu yang 'manis' untuk si calon suami.
Setelah menikah nanti, sepertinya Valerie akan mengucapkan kata terima kasih setiap harinya kepada Naresh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Make Me Pregnant, Please!
RomanceMenjadi anak bungsu di keluarga kaya raya, tentunya membuat Valerie Noura Smith juga tergiur untuk mendapatkan warisan dari sang ayah, Beno Smith. Berbeda dengan kedua kakak laki-lakinya yang mendapat hak warisan setelah usia mereka dua puluh lima t...